"Kamu mau jelasin apalagi tentang ini, hah?!"
Tengah malam begini, sudah waktunya semua mata terpejam tidur, mengapa masih ada saja keributan-keributan di rumah bak istana ini? Dari lantai bawah, suara Rendra terdengar nyaring hingga mengganggu putra satu-satunya yang berusaha menggapai lelap.
Desisan spontan keluar dari mulut Dave kala bangun tanpa aba-aba. Sakit kepala belakangan ini amat mengganggu, mungkin efek stres yang tak tahu juga apa penyebabnya.
"Main sama siapa kamu sampai sejauh ini, hah?!" Rendra melempar benda kecil panjang yang mirip .... tes kehamilan.
"Kukira kamu kerja buat bantu aku, ternyata .... mau permalukan aku? Enggak tahu di—"
"Ada apa, sih, Pa?" tanya Dave menuruni tangga.
Matanya menelisik sekitar, ruang keluarga tampak berantakan. Satu yang menyita perhatian Dave sepenuhnya. Memang tak begitu jelas, tetapi alat itu .... seperti alat tes kehamilan. Ia beberapa kali melihat di video Instagram, banyak akun artis yang berbagi kebahagiaan lewat alat itu dengan penggemarnya.
"Dia ...." Rendra menunjuk ke arah Stevi dengan telunjuk yang memanas. "Perempuan kotor. Berani-beraninya dia bermain api di belakang papa sampai ha—"
"Bisa dibicarakan baik-baik, kan, Pa? Enggak enak didengar tetangga. Takut ganggu mereka juga." Dave tak mau keluarganya menjadi buah bibir tetangga karena ribut semalam ini.
Rendra memamerkan senyum remeh. "Bicara baik-baik? Tahu apa kamu soal permasalahan orang tua?"
Dave lekas mengangguk. "Dave memang enggak tahu apa masalah kalian. Tapi Dave mohon jangan kayak gini. Kita bicarain baik-baik ya—"
"Dia jalang! Dia hamil entah sama siapa!"
Tubuhnya mematung, angin yang berembus pun mungkin bisa ia dengarkan kehadirannya. Dave membeku di tempat, tentu tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, melihat alat tes kehamilan yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri, menyadarkannya.
Tatapan kosongnya beralih menatap malaikat hidupnya yang wajahnya kini penuh air mata. "Enggak mungkin, kan, Mah?"
"Maaf, Dave."
Jantung yang semula baik-baik saja, kini hanjur berkeping-keping hanya dengan permintaan maaf ya keluar dari mulut Stevi. "Maaf? Dave enggak butuh itu. Jawab Dave dengan jujur." Dave menahan kalimatnya karena mulutnya seolah kaku. "Apa yang papa bilang, itu bohong, kan?" lanjutnya mengharap jawaban Stevi adalah kebalikan dari yang Rendra katakan.
"Maaf, mama enggak sengaja. Mama dijebak," jawab Stevi tersedu hingga jatuh terduduk saking tak kuatnya berdiri. Dave menelan ludah, ia tak bisa melihat perempuan paling ia cintai seperti ini.
Meski berat, kakinya melangkah pelan menghampiri Stevi. Masih berdiri, belum sempat memberi pelukan yang setidaknya menenangkan, Rendra kembali berteriak. "Jangan sentuh perempuan kotor itu!"
Langkah tegas Rendra ke arah Stevi membuat jantung Dave berdebar hebat. Tangan Rendra terangkat tinggi membuat Dave lekas menghalangi tangan penuh emosi itu melukai wajah sang ibu. Benar saja, satu detik berikutnya, panas, perih, dan menyayat langsung terasa di wajah kanannya.
Perlahan bekas tamparan itu ia sentuh. Air mata yang sekuat mungkin ia tahan, kini turun begitu saja. Hatinya terasa sakit, ribuan kali lebih sakit daripada tamparan pria yang darah dagingnya melekat juga pada dirinya.
"Makasih atas tamparan malam ini, Pa," ucap Dave dengan tatapan sendu menatap ayahnya yang kini terlihat seperti diliputi rasa bersalah, mungkin.
Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada sang ibu. "Makasih juga atas kejutannya, Mah." Cukup lama mereka saling bertatapan. Hingga akhirnya Dave mundur, dirinya sungguh tak kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come To Leave (Revisi)
Подростковая литература#sicklit #fiksiremaja Rahasia kedua orang tuanya yang terkuak sungguh memuakkan. Keluarganya semakin hancur bersama tubuh yang turut melebur bersama kata lemah dan lelah. Tak tahu dan tak mengerti apa yang sebenarnya Tuhan inginkan darinya. Dave han...