Delapan

2K 133 22
                                    

Semangkok bakso kini hanya tersisa kuahnya saja, Dave sudah melahap habis olahan yang terbuat dari daging sapi digiling dan dibuat bulat-bulat itu. Baru merasa nikmat perutnya kenyang, cegukan datang hingga perutnya terasa mual. Lelaki yang masih mengenakan jas itu pun menarik dan mengembuskan napas panjang. Ribet, mengganggu saja.

Kamar mandi menjadi tujuannya sekarang. Jarak kantin dengan tempat buang hajat itu tak seberapa jauh, tetapi ia sudah merasa lelah. "Perasaan gue jalan dari kantin ke toilet. Kenapa capeknya kayak jalan ke London, dah," gerutunya melepas jas yang membuatnya semakin sesak.

Pantulan wajah di cermin kamar mandi itu membuatnya mengernyit heran. Seperti berbeda dari yang ia tangkap tadi pagi sebelum berangkat sekolah, kini tampak kuyu dan tak segar. Cegukan yang membuat ulu hati seperti tersentak menyadarkannya. Cepat-cepat ia masuk ke bilik toilet, takut tiba-tiba memuntahkan makanan yang baru saja sampai di lambung.

Nihil, tiga menit berusaha mengeluarkan yang mengganjal di perut, tak ada yang keluar sama sekali. Cegukan malah semakin parah membuatnya sedikit sesak. "Ah. sesak banget gila!"

Kembali lagi Dave ke kantin, mencari warung yang menjual air mineral. Setelah mendapatkan dan meneguknya hingga hampir habis, bunyi ceguk dari kerongkongam itu tak turut berhenti. Sungguh membuat frustasi. "Pulang aja, lah. Gila kali gue cegukan kayak anak bayi," batinnya lalu mulai meninggalkan kantin yang ramai pengunjung.

"Narendra, main, yuk."

Suara horor itu datang dari belakang, bahkan tangannya kini nangkring di bahu kiri Dave membuatnya segera menghempaa tangan menggelikan itu.

"Ish. Dari mana aja, sih, lo? Gue nyariin ke sana-kemari enggak juga ketemu. Oh, habis makan bakso sendirian lo, ya? Licik banget kagak ngajakin gue!"

"Bacot, lo. Mending makan sendiri daripada ngajak lo. Utang mulu kerjaannya," sahut Dave tak menghiraukan Melvan yang sibuk merajuk di belakangnya.

Toyoran keras dari belakang membuat langkah Dave terhenti seketika. Mata elangnya menghunus pada Melvan yang kini diam melongo. "Sorry, sorry. Refleks aja, Dave. Lagian, lo, sih—"

Ceguk!

"Lo ngapa cegukan, Anjir?" sambung Melvan berubah menertawai sahabatnya yang terlihat kocak. Badan bagus, tampang ganteng, eh, cegukan. Lucu, bukan?

"Tau, ah!" Dengan langkah kesal, Dave kembali berjalan ke arah parkiran.

Melvan tak tinggal diam, ia mengikuti langkah sahabatnya hingga terdengar desisan sedikit keras dari mulut Dave. "Gue mau balik, sana pergi," ketus Dave menghentikan kakinya tak lebih dari lima detik sebelum menuju motor ninja merah yang sudah melambai-lambai.

"Masa langsung balik. Main dulu, lah, ayo. Please ...."

Sumpah demi apa pun, Dave geli. Si parkiran yang ramai orang, anak laki-laki memohon-mohon kepada teman laki-lakinya dengan nada sedikit .... manja benar-benar membuat Dave ingin muntah sekarang juga.

"Enggak! Gue ma—"

"Dave." Panggilan itu menghentikan kalimat Dave yang belum tuntas. Tatapan nyalangnya melayang pada pria paruh baya yang semalam membuat kekacauan di istananya sendiri.

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang