Empat belas

2K 126 39
                                    

Hanya dua jam, sekiranya waktu yang Melvan dapatkan untuk dapat tidur pulas, itu pun tak sengaja terlelap saking mengantuknya menjaga sahabatnya yang diserang demam tinggi. Demi apa pun, Melvan tak mengerti situasi apa yang sebenarnya sedang menghantam pertahanan Dave yang sejak ia kenal baik-baik saja.

Memang tak satu atau dua kali Dave mengeluh orang tuanya tak seharmonis dulu, tetapi Melvan pikir, tak separah itu. Sampai menemui titik sekarang, baru ia sadari tatapan Dave bukanlah sorot mata yang biasa anak itu pancarkan. Ada luka, ada kesedihan mendalam yang ditutup-tutupi.

"Sori, selama ini seolah gue buta, Dave," lirih Melvan menatap sahabatnya yang tidur tenang tampak tak terganggu dengan suara-suara dari sekitarnya.

Malam masih ingin berlama-lama menemani Melvan dengan mata kantuknya, baru hendak turun dari ranjang membuat kopi di dapur, Dave terbatuk dengan mata masih terpejam. Tak ada yang Melvan lakukan, hanya mematung sambil terus memperhatikan kawannya yang berbaring. Bodoh memang, bukannya membangunkan dan memberi minum, malah diam seperti orang linglung.

Baru setelah Dave kembali diam, Melvan melanjutkan niatnya membuat kopi agar bisa terjaga setidaknya sampai pagi tiba. Melvan sedikit menyesalkan ibunya yang tadi pagi berpamitan akan ikut bapak ke luar kota selama tiga hari. Andai saja Melvan tak membolehkan, setidaknya ada ibunya yang bisa diajak bergantian menjaga sahabatnya.

Kepulan asap tipis dari secangkir kopi cukup mengelabui pikiran Melvan hingga merasa segar lagi. Kopi sudah siap, sepertinya tak lengkap tanpa camilan. Dalam satu kali tarikan, pintu kulkas terbuka menampilkan isinya yang ..., sial, tak ada makanan yang bisa menemaninya begadang.

"Ninggalin anak tiga hari, kagak dikasih stok makanan. Buset, emak gue aja kayaknya," misuh Melvan memecahkan keheningan yang merambat di tengah malam begini.

Beruntung Melvan sudah biasa ditinggal ibu bapaknya keluar selama beberapa hari, jadi menghadapi pagi dan malam seorang diri sudah biasa—meski seringnya numpang ke rumah satu-satunya sahabat. Ah, ia melupakan Dave yang sendirian di kamar, takutnya terjadi sesuatu.

Langkah cepat yang diambilnya ternyata tak sia-sia, baru sampai ambang pintu yang sengaja ia buka agar tak berisik saat keluar-masuk kamar, remaja seumuran dirinya sudah tak lagi di ranjang. Matanya langsung menyisir ke seluruh ruangan. Selimut yang semula menutup penuh tubuh sahabatnya, berantakan hingga menjuntai turun. Bisa ditebak, Dave turun dari tempat tidur.

"Dave? Lo ke mana anj—"

Satu hal yang ia tangkap kali ini cukup mengalihkan perhatian. Segera ia letakkan kopi di atas nakas, kemudian memeriksa ke atas kasur, tempat objek yang membuatnya salah fokus. "Anjir, beneran basah?!" Melvan kira, matanya salah lihat, ternyata setelah diperiksa dengan tangannya sendiri, ranjangnya benar-benar basah seperti bekas ....

Matanya kembali menelisik mencari keberadaan Dave yang tiba-tiba menghilang tergantikan oleh bekas tumpahan air—atau apapun—di atas ranjang. Tepat ketika matanya tertuju pada kamar mandi di dalam kamarnya, orang yang dicari-cari keluar dengan ember hijau di tangan.

Napas Dave tercekat, tiga detik laki-laki itu bungkam seperti baru saja tertangkap basah melakukan kesalahan besar. Tanpa meminta kejelasan apa pun, Melvan hanya diam memandangi sahabatnya yang menunjukkan raut tak enak.

"Sori. Gue bakal cuci semua, kalau perlu kasurnya gue ganti." Dave buru-buru menghampiri Melvan yang masih berdiri di samping ranjang diam. Tatapan serta nada bicaranya, sudah begitu meyakinkan Melvan bahwa sahabatnya merasa bersalah dan malu.

Benar, seperti malam itu, kali ini Dave tak sengaja dan tanpa sadar buang air kecil di ranjang. Sialnya, bukan di kamar sendiri, melainkan kamar Melvan. "Gue minta maaf, Melv." Dave berkata sembari menarik selimut serta melepas semua sarung bantal di ranjang. Terbawa suasana, Melvan hanya mengangguk kemudian sedikit bergeser memberi jalan kepada Dave yang  hendak menggulung seprei.

Sekejap, suasana menjadi canggung tak karuan. Meski tubuhnya kembali terasa lemas, Dave terus mempercepat gerakan tangannya agar segera selesai merampungkan tanggung jawabnya. Leher dan wajah Dave terlihat berkeringat. Melvan tahu itu bukan keringat biasa, tetapi keringat dingin.

"Biar gue aja yang bersihin. Lo istirahat aja di sofa depan, gih." Dalam satu kali tarikan pelan di punggung Dave, keduanya saling beradu pandang.

Meski sudah lama bersahabat, adakalanya rasa canggung akan hinggap jika menemui situasi yang tak biasa terjadi, seperti saat ini. Dave membuang wajah kemudian berkata, "Enggak. Jorok, Melv. Ini ulah gue, gue juga yang harus bersihin."

"Nurut aja," tolak Melvan menarik ujung seprei yang Dave pegang sejak tadi. "Muka lo pucat banget kayak mayat. Sana istirahat aja."

Rasa tak enak hati langsung menyergap, tetapi Dave tahu sahabatnya tak sedang marah ataupun kecewa. Dari nada bicaranya, Dave tahu Melvan mengkhawatirkan dirinya. Hanya saja, memang caranya kadang sedikit keras, tak semanis kasih sayang persahabatan antara sesama perempuan atau dengan perempuan.

"Maaf ya, Melv. Nanti gue gantiin kasurnya. Gue beliin yang ba—"

"Enggak usah."

Gara-gara kejadian dini hari tadi, dua orang yang sudah lama menjalin hubungan persahabatan—sejak duduk di kelas menengah pertama—kini mereka saling diam di meja makan. Rasanya benar-benar tak nyaman, hingga akhirnya Melvan memecahkan keheningan di antara mereka.

"Enggak usah dipikirin. Lagian wajar aja kali ngompol, apalagi lo lagi demam gini. Gue enggak masalah."

Dave berhenti menggerakkan sendoknya yang sedang bermesraan dengan bubur ayam, sebenarnya ia sudah tak mau membahas itu lagi, jujur saja dirinya malu. Melvan sepertinya memahami perubahan raut wajah Dave langsung mengatupkan bibir.

"Sori, gue enggak bermaksud ungkit-ungkit ini, cuma takutnya lo—" Kalimat Melvan kembali tertahan saat Dave semakin meliriknya tak nyaman. "Oke gue diem."

Sudah, setelah itu keduanya sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing. Hingga suapan terakhir bubur ayam depan gang yang Melvan beli pagi-pagi buta itu habis, Dave akhirnya membuang napas panjang. "Menurut lo, gue harus gimana, Melv?"

"Apanya?" Melvan menutup pintu kulkas dengan sikunya sebab kedua tangannya memegang dua gelas kosong dan sebotol air mineral. Dave tak lekas menjawab, matanya terus memperhatikan Melvan yang ribet sendiri dengan air minum—tanpa ada niat membantu. Sampai keduanya kembali duduk berhadapan, Dave membenarkan posisi duduknya.

"Gue bingung banget sumpah sama keluarga gue. Apa enggak cukup selama ini gue kesepian, ya? Bukannya diperbaiki, malah makin menjadi, anjir. Bisa-bisanya mereka malah cerai. Bangsat banget enggak, sih, keluarga gue? Rasanya kayak ..., gue udah kehilangan harapan hidup gue tau, enggak? Iya, gue emang baik-baik aja selama ini sendirian, keliatannya. Tapi jujur aja gue ngerasa apa-apa sendiri. Emang orang tua gue selalu nafkahin gue dengan uang, tapi bukan itu yang gue butuhin, Melv. Apa mereka enggak bisa turunin ego masing-masing demi gue? Hasil dari permainan mereka juga."

Tak berani, Melvan hanya bisa mendengarkan tanpa mengatakan apa-apa. Ia sendiri pun masih mencerna masalah yang sedang terjadi di tengah keluarga Dave yang ia kira, selama ini baik-baik saja. Bukan bermaksud ingin mencampuri urusan orang lain, apalagi ini sudah masalah keluarga. Mungkin sedikit banyak ia tahu dan pernah dengar masalah yang sebelas dua belas sedang dialami Dave. Namun, pasti tetap berbeda antara mendengar dengan mengalaminya sendiri.

"Dave," panggil Melvan, berusaha memikirnya kata apa yang harus keluar dari mulutnya. Ia tak mau salah bicara. "Jujur aja gue enggak bisa bicara apa-apa. Gue enggak tahu alasan orang tua lo lakuin itu ke lo. Gue enggak tahu jalan pikiran orang tua kita gimana. Pasti jadi lo sakit, tapi kita juga enggak tahu apa yang lagi mereka pikirin. Apa orang tua lo juga sakit, atau gimana.  Yang jelas, gue minta lo buat stop mikir hal-hal buruk. Susah sih pasti buat lo, gue mah ngomong doang gampang. Tapi yang mau gue bilang adalah, lo masih ada gue. Janji gue ke lo, gue enggak bakal ninggalin lo sampai kapan pun."

Benar, tugas Melvan bukanlah memberi solusi atau ikut mencampuri urusan keluarganya. Meski tak mengikis kebenciannya terhadap papanya yang berlaku semena-mena terhadap ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya, kata-kata Melvan mampu membuatnya sedikit tenang. "Thanks, Melv. Sori gue kebanyakan drama. Buat kasur lo, besok gue ganti."

"Dibahas lagi, dong, ini pak haji." Melvan bosan dengan Dave yang terus-terusan mengatakan hal yang begitu tidak penting. "Enggak usah. Mending lo pake buat berobat. Lo bilang badan lo kerasa enggak beres, kan? Mau gue temenin ke rumah sakit?"

Dave menggeleng. "Ngomongin haji, Tono udah haji, loh, sejak usia dua bulan."

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang