Dua

4.3K 254 212
                                    

Hari Senin adalah hari keramat bagi pelajar. Menunggu lima hari lagi untuk merasakan libur sekolah merupakan kebosanan yang tak kunjung lenyap. Berbeda dengan hari senin biasanya, senin kali cukup menyenangkan hati para siswa karena dapat pulang lebih awal karena pengajar akan mengadakan rapat. 

Di kelas yang sepi dan lumayan jauh dari ruang guru, anak laki-laki dengan wajah superseriusnya menatap dan sibuk mencoret buku tulis di meja. Sesekali anak itu mengacak rambutnya kesal. 

"Anjir! Kayaknya ini rumus ada yang salah, deh," selidik Dave dengan alis menyatu di tengah.

Bukan hanya otak yang berusaha menemukan jawaban, mulutnya pun turut mengoceh tak karuan. "Kalau rumusnya benar, pasti hasilnya juga benar. Heran, ini yang bikin rumus siapa, sih? Udah tau salah, tetap disebarin. Demi apa coba." Bolpoin yang tintanya tersisa setengah, kini diketuk-ketukkan ke buku tulis berkali-kali.

Dave menyobek kertas oret-oretannya yang penuh angka dan rumus, kemudian kembali mencari jawaban dengan rumus yang sudah ia pakai sebelumnya. "Sumpah ya ini soal! Udah gue puter-puter rumusnya masih aja enggak ne—"

"Permisi." Dave menoleh ke sumber suara dengan sorot mata datar. Hanya dua detik, kemudian perhatiannya kembali fokus ke soal yang semakin ia lihat, semakin memuakkan saja.

"Maaf, Mas, apa saya boleh masuk?" Suara pelan gadis yang masih berada di ambang pintu membuyarkan konsentrasi Dave lagi.

"Hm." Meski sejujurnya sudah kehilangan fokusnya, Dave tetap berusaha mengembalikan pikirannya yang mulai melayang entah pergi ke mana.

Melihat wajah gusar Dave serta rambut hitam yang acak-acakan, gadis berkacamata bulat itu pun paham situasi. "Lagi sibuk ngerjain tugas, toh," bisiknya dalam hati.

"Ada apa?" Tanpa mengalihkan tatapannya dari rumus yang memabukkan itu, Dave bertanya kepada gadis yang sudah berdiri di samping mejanya.

"Ini, Mas Dave, saya mau mengembalikan jaket yang Jumat lalu Mas pinjamkan ke saya."

"Oh. Taruh di meja."

Naya hanya mengangguk, kemudian meletakan totebag berisi jaket ke Dave. Semakin canggung, Naya terjebak dalam diam. Haruskah ia pamit pulang atau bagaimana. Pemuda yang sibuk dengan alat tulisnya itu sungguh tak menghiraukan kehadirannya.

"Apa lagi?" tanya Dave melihat ke arah Naya hanya detik lalu melihat kearah buku lagi.

"Ha? Apa lagi apanya tah, Mas?" Entah apa yang sedang dipikirkan di otaknya, Naya malah bertanya balik.

"Kok masih di sini?"

"Oh-eh anu em—" Naya bingung harus menjawab apa sekarang.

Senyumnya mengembang sembari menatap Naya membuat gadis yang dilempari senyum manis dari bibir tipis Dave itu terpaku. Pipinya terasa panas, padahal cuaca tak sedang terik. Belum selesai dengan itu, Dave menarik pergelangan tangan Naya. Tidak begitu keras, tetapi berhasil membuat gadis itu langsung duduk di bangku yang sebelumnya ia duduki. "Sini, deh, duduk."

Naya memandang Dave dan meja yang berantakan dengan pena, tipe-x, serta buku penuh coretan yang tak beraturan secara bergantian. "Ngapain, Mas?"

"Nih, coba lo liat. Rumusnya salah, kan? Masa udah gue cari pake rumus itu kaga ketemu? Berarti nih rumus enggak bener, kan?" Dengan nada menyalahkan rumus yang menggebu-gebu, Dave menunjuk catatan miliknya.

Naya pun mulai membaca dan mencermati rumus itu dengan teliti. Setelah seperkian detik fokus dengan tulisan yang sedikit membuat kepalanya pusing, akhirnya ia berkomentar. "Betul kok, Mas, rumusnya."

"Masa, sih? Orang gue tadi nyari pake rumus ini enggak ada jawabannya. Berarti, kan, rumusnya yang salah."

"Bukan rumus yang salah, tapi Mas yang kurang benar ngerjainnya," jawab Naya sambil tersenyum. "Sini pulpennya, Mas. Biar saya yang kerjain."

"Seriously?"

"Emang kenapa?" Respons Dave memang sedikit berlebihan, padahal Naya hanya berniat membantu karena memang merasa bisa mengerjakan soal itu.

"Lo, kan, anak pintar, tuh, bahkan sampai dapat beasiswa. Biasanya anak pintar pelit bagi tugas." Sungguh lucu. Baru kali ini Naya mendengar laki-laki mengeluh karena sulit mendapat contekan. Kebanyakan, yang pernah ia temui, malah anak laki-laki sering mengerubungi contekan yang diberikan cuma-cuma.

Naya tersenyum menanggapi ucapan Dave. "Setiap orang beda-beda, Mas." Dave mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan perempuan di sampingnya.

Dengan antusias dan semangat yang seolah kembali, Dave segera mengumpulkan alat tulisnya di depan Naya. "Oke. Ini pulpen, pensil, penghapus, sama tipe-x. Selamat mengerjakan."

Tanpa berlama-lama, Naya mulai sibuk mengisi baris-baris buku tulis dengan angka. Soal di hadapannya bukanlah hal yang sulit sebab otaknya sangat sering diasah sehingga dapat dengan mudah mengerjakan soal matematika.

Dave terus menatap Naya yang sedang serius bergantian dengan tangan yang sibuk menulis dan memasukkan angka ke dalam rumus. Menurut Dave, meski tampak culun, wajah Naya itu lucu. Merasa sedang diperhatikan, Naya mengangkat wajah dan mata mereka pun bertemu.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Dave lebih dulu memalingkan pandangannya ke arah jendela. "Ngapain lo, Anjir!" kesalnya dalam batin. Bukan hanya Dave, Naya pun demikian. Dalam hati wanita itu mengucap istighfar sebanyak mungkin demi menghilangkan perasaan aneh yang hinggap di hati.

Dengan agak malu, Naya menggeser buku kehadapan pemiliknya. "Udah, Mas." Naya segera menyerahkan buku kepada sang pemilik.

"Thanks." Dave mengucapkan satu kata itu tulus, ditambah senyuman manisnya membuat Naya tak henti-hentinya merasakan panas di pipi. 

"Iya, sama-sama." Naya membalas dengan senyum canggung.

Sambil memasukkan buku serta alat tulis yang memenuhi meja ke dalam tas, Dave bertanya, "Lo mau balik?"

"Iya." Naya segera bangkit.

"Naik?"

"Sepeda."

"Mending sama gue aja," ajak Dave sambil menyampirkan tas ke pundak kiri, tangan kanan menenteng totebag cokelat berisi jaket miliknya yang sempat Naya pinjam, kemudian mulai melangkah ke luar kelas.

"Ndak usah, Mas" tolak Naya tanpa pikir panjang.

"Emang kenapa?" Dave menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu dan berbalik menatap Naya yang ikut berhenti.

"Takut ngerepotin."

"Gue tanya ke lo sekarang. Lo kemarin nyuci jaket gue ngerasa repot, enggak?"

"Ya ndak, lah. Kan, tanggung jawab. Kalau ndak ada Mas, mungkin saya udah kesiram. Jadi ndak ngerepotin sama sekali." balas Naya dengan nada meyakinkan. 

"Nah, berarti enggak ngerepotin, dong, kalau gue nganterin lo. Kan, lo udah ngerjain tugas gue, kalo enggak ada lo, mungkin gue udah bunuh diri gara-gara enggak bisa ngerjain itu tugas. Sekarang biarin gue tanggung jawab, oke?" Penjelasan Dave membuat Naya menunduk.

"Maaf, Mas, saya naik sepeda saja."

Dave membuang napas panjang, memaksa bukanlah sesuatu hal yang biasa dilakukannya. Ia memilih membiarkan Naya memilih kemauannya sendiri. Balas budinya bisa nanti, lain waktu lagi.

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang