Dua Puluh Dua

1.7K 118 56
                                    

Pening takkan hilang jika ia terus menerus berbaring seperti ini. Dave memijat pelan pelipisnya sendiri mengusir pusing yang diakibatkan karena dirinya belum juga melepaskan diri dari ranjang rumah sakit yang sudah dua hari membuat tubuhnya betah merebah. 

Setengah jam yang lalu, setelah membantunya membersihkan diri dengan mengelap sedikit tubuhnya agar tak terasa begitu lengket, tante Tari berpamitan kepadanya untuk pergi karena ada urusan pekerjaan. Tak mungkin Dave menahan orang lain menyelesaikan urusannya hanya untuk mengurus dirinya yang hanya bisa berbaring.

Nasal kanul masih menempel di hidungnya. Memang sudah tak begitu sesak, tetapi dengan alat itu, napas Dave terasa lebih nyaman dan segar. Bisa saja sebenarnya ia lepas jika mau, tapi rasanya enggan. Sudah nyaman begitu saja. Sepi, sungguh tak ada suara lain kecuali embusan angin yang menelisik lewat gorden yang berada empat meter dari tempatnya bersandar pada ranjang yang dinaikkan sedikit sehingga posisinya agak sedikit duduk.

Tak banyak yang Dave lakukan pagi ini. Hanya disuapi sarapan oleh ibu dari sahabatnya yang ia anggap seperti ibu sendiri, membersihkan diri, berganti pakaian, mengintip ponsel yang rupanya tak ada notifikasi berarti—hanya pesan dari Melvan yang Dave buka dan balas. Selain itu? Tak penting.

Rasa terhadap ayahnya? Sepertinya rasa hormat pun semakin pudar dari hatinya. Dave memang darah daging Rendra, tapi ia sama sekali tak membenarkan tingkahnya yang begitu arogan dan sesukanya memainkan perasaan orang lain, terlebih ibunya yang sudah lelah berjuang mengandung, menyusui, bahkan membesarkannya dengan penuh kasih. Sosok yang dulu sangat ia idolakan karena bak pahlawan, kini tidak lagi demikian. 

Jujur saja, Dave bukan anak yang kurang kasih sayang, dulunya. Pertengkaran berujung perpisahan saja, sama sekali tak pernah terbayangkan, bahkan sekali pun tak pernah terlintas sedetik pun di pikiran Dave. Mengingat keluarga kecilnya tak pernah menunjukkan jika sedang ada masalah. Ribut pasti ada, tetapi hanya masalah sepele. Hingga tiba-tiba keributan terjadi lebih besar dari dugaan justru terjadi. Dave tak pernah siap.

Pikirannya ke mana-mana, berantakan lagi. Ditambah lagi sekarang ia harus terus merasakan sesak di dada yang kadang menghimpit pernapasannya hingga terasa akan menemui akhir dari hidupnya. Dave tahu tubuhnya tak baik-baik saja. Rasa takut terus menyerang kepala. Terlebih tante Tari yang mengatakan ia harus membawa orang tuanya bertemu dokter yang menanganinya, Dave sungguh tak yakin hasilnya baik.

Takut dan penasaran, sama besarnya. Mungkin jika tak mencari tahu, Dave akan terus terjebak dalam pikirannya yang bisa jadi terlalu berlebihan. Ada niat dalam hati menemui dokter itu sendiri, tanpa membawa ibu atau ayahnya yang tak tahu sedang apa hingga anaknya terbaring dua hari di rumah sakit pun tak ada yang tahu—atau tak perduli. Namun, apakah ia akan siap jika memang hasilnya sungguh buruk?

Lima menit Dave memejamkan kedua matanya, mengatur perasaan yang semakin berkecamuk. Setelah itu, tangannya terangkat melepas alat yang dua hari ini membantunya bernapas lega. Ia sempat menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Udaranya terasa sedikit berbeda. Sejak dulu jarang sakit, sekalinya sakit sekarang malah separah ini.

"Gue baik-baik aja, ngapain takut? Palingan sesak juga gara-gara udara kota sekarang penuh polusi. Iya enggak, sih?" tanya Dave pada diri sendiri, tetap mengafirmasi pikiran positif.

Disibaknya selimut tebal yang menyembunyikan setengah tubuhnya. Kakinya terlihat sedikit bengkak. Tak heran sebenarnya, sejak lari di lapangan saat dirinya dihukum juga sudah ada. Bisa jadi imunnya sedang begitu turun sehingga lumayan lama untuk penyembuhan rasa sakit.

Perlahan, ia turunkan kakinya satu persatu, hingga keduanya menyentuh lantai yang ternyata terasa begitu dingin. Dave terlonjak saat dingin serta rasa tak nyaman menyinggahi kakinya. Baru dua hari tak dipakai beraktivitas saja sudah begini. Payah. Saat sibuk menyiapkan diri menemui dokter yang menanganinya, ketukan dari luar pintu kamar rawatnya membuat Dave menoleh. Bodohnya, ia hanya terdiam menunggu siapa yang akan masuk.

"Loh, mas Dave? Kok turun? Mau ke mana? Kebelet atau ...." Wanita dengan lesung di kedua pipi membuat wajahnya begitu manis datang menghampiri. Tanda di kepalanya membuat Dave yakin perempuan itu bukanlah dokter, melainkan perawat.

Dave mendadak kikuk, bingung harus menjawab apa. Perlukah ia menjawab jujur, atau berbohong saja. Melihat kebingungan di wajah pemuda yang dua hari ini ia jaga sejak dipindahkan dari IGD ke ruang rawat, ners bernametag Mia tersenyum sambil menuntun Dave kembali duduk. Lagi-lagi Dave tak berkutik, hanya ikut intruksi saja.

"Kenapa? Ah, belum kenalan ya?" tanya ners Mia terus mematri senyumnya di bibir. "Saya ners Mia. Perawat di sini sekaligus caregiver juga. Ditugaskan sama dokter Agus untuk merawat mas Dave sejak kemarin." Ners Mia mengulurkan tangannya bermaksud mengajak berkenalan. Dave pun menyalami perempuan di sampingnya dengan sopan dan mengenalkan diri. Senyumnya juga tak lupa ia lemparkan—meski agak canggung.

 "Tadi mau ngapain? Ke kamar mandi?" Dave menggeleng pelan, membuat dahi ners Mia berkerut lumayan dalam. "Loh, terus?"

Bukannya langsung menjawab, Dave malah mengatupkan bibir, kemudian menatap ners Mia ragu. "Sebenernya saya kepengin ..., ketemu dokter sendiri. Boleh, Ners?" 

"Loh, enggak bisa, dong. Harus sama orang tua kamu. Soalnya nanti, kan, ada—"

"Penginnya gitu, Ners. Tapi orang tua saya di luar negeri semua, baru pulang paling akhir bulan nanti. Kelamaan, kan?" potong Dave cepat, takut ketahuan jika orang tuanya sebenarnya bukanlah tak bisa pulang, melainkan sudah tak perduli.

Tangan ners Mia yang tampak begitu profesional mulai menarik lengan Dave dalam diam, kemudian mulai mengecek tekanan darah anak itu. Dirinya ditugaskan untuk lebih sering mengecek tekanan darah Dave karena dokter Agus mencurigai sesuatu. Tanpa menolak, Dave membiarkan saja tangannya mulai dibebat kain yang terdapat perekat, lantas mulai mengencangkan lengan.

Tak ada yang berbicara dalam kegiatan itu, keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran dan pekerjaan masing-masing. "Keluarga kamu yang lain? Sebagai wali gitu? Pasti ada, kan? Boleh buat gantikan orang tua kamu sementara," ucap ners Mia sembari melepas kain dari lengan Dave. 

"Tekanan darah kamu tinggi terus, Dave. Ada riwayat hipertensi di keluarga?" Dave menggeleng, sebagai jawaban tanpa suara. 

"Prosedurnya memang harus sama orang tua kamu, tapi nanti coba ners tanya ke dokter, ya, barang kali bisa ngobrolin sama kamu dulu." Dave yang semula diam tanpa suara dan ekspresi, mendadak berbinar bak diberi harapan pasti. Pemuda itu mengangguk setuju.


Memang Dave yang sangat bersemangat menemui dokter Agus untuk mengetahui penyebab seringnya rasa sesak memenuhi dada, serta pening yang kerap mengganggu aktivitasnya. Namun, saat sudah diperkenankan bertemu, nyalinya mendadak ciut, jantungnya berdebar kencang hingga hampir saja keluar dari tempatnya. Keraguan kembali hadir, haruskah ia bertemu sendiri ..., atau? Ah, masuk saja!

"Siang, Dok," sapa Dave memasuki ruangan serba putih dengan meja kerja dokter yang sudah penuh dengan berkas dan alat-alat medis. 

Belum dipersilakan masuk pun, Dave sudah melangkah mendekat ke kursi seberang dokter Agus duduk sambil menyeret tiang infusnya sendiri. Kikuk, ia tak tahu harus bertingkah bagaimana. Ini sungguh kali pertama ia bertemu dengan dokter sendirian. 

"Nak Dave? Sendirian? Enggak sama orang tua kamu?"

Dave menggigit bibir tanpa saja. Sungguh ia takut kena omel karena tidak menuruti perintah dokter untuk membawa wali sahnya. Senyum canggung kembali terpatri di bibir, sungguh ingin sekali ia mengumpat kenapa dirinya terlihat begitu konyol sekarang. "Maaf, Dok. Orang tua saya sibuk di luar negeri. Belum bisa pulang sekarang. Tapi saya bisa, kok, buat mahamin penjelasan dokter," tuturnya cepat, agar dokter di hadapannya yakin.

"Nak Dave tahu kenapa saya minta bawa keluarga buat ketemu saya? Karena kondisi Nak Dave cukup serius."

Darahnya berdesir cepat, degup jantungnya pun tak mau kalah. Benar dugaannya, ia pasti memiliki masalah serius dengan tubuhnya. Berbeda dari pikirannya saat di ruang rawat beberapa saat yang lalu, kini ia kurang yakin mampu mendengar apa yang menjadi momok dirinya dirawat di sini.

"Awal diagnosis saya, Nak Dave mengalami kebocoran jantung. Namun—"

"Saya kena jantung bocor, Dok?"



Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang