Dua Belas

1.8K 128 31
                                        

Kakinya tak tahu arah. Terdampar di sini, di tempat yang tak begitu banyak orang lalu-lalang sebab bukan hari libur sedikit memberi kelegaan sebab tak perlu ada yang tahu bahwa dirinya sedang terluka. Gulungan ombak menyapa bibir pantai dengan lembut membelai kaki telanjang Dave.

Rasanya seperti bukan dirinya. Ia jarang begini, bahkan seperti tak pernah. Mentok-mentok jika ada masalah, ia akan pergi mencari ketenangan bersama Melvan. Entah apa yang dilakukan, intinya bisa mengumpulkan mood, akan ia lakukan saja. Namun, kali ini masalahnya tak semudah itu 'tuk dilalui. Hingga ia pun tak tahu hari berbuat apa sekarang.

Andai ibunya ada, ia bisa bertanya atau setidaknya ada sedikit ketenangan. Stevi entah kemana. Puluhan pesan yang dikirimkan lewat aplikasi WhatsApp pun tak dibuka oleh wanita kesayangannya. Sudahlah, Dave memilih duduk. Menikmati embusan angin, deburan ombak, serta sakit batin dan fisik yang turut menyiksa. Langit biru digantungi awan putih menjadi saksi betapa terlukanya remaja yang selama ini abai dengan luka.

Diamnya terusik oleh pusing yang kini bergiliran merajai rasa sakit. Dave membuka mata, banyak titik hitam dalam pandangannya. Mungkin karena terlalu lama menghadap langit, pikirnya. Pemuda berpakaian ala anak rumahan itu lekas bangkit. Meski hampir oleng, beruntung kakinya mampu mendapat keseimbangan lagi. Hingga menepi ke warung di sekitar pantai, Dave memesan air mineral. Ulu hatinya sedikit nyeri.

.....

Tak peduli dengan kendaraan lain di depan atau di belakangnya, Dave benar-benar tancap gas setelah mendapat pesan dari sang permaisurinya.

Mama pulang. Dua kata yang membuat Dave merasa lelahnya hilang menguap tak tahu ke mana. Semua rasa sakitnya luruh, tergantikan dengan harapan besar tentang keluarganya. Entah apa yang ia harapkan, intinya, Dave berpikir keluarganya akan kembali baik-baik saja.

Perjalanan yang membutuhkan waktu tempuh empat puluh menitan lebih, dapat dipersingkat menjadi dua puluh menit saja oleh Dave. Saking besarnya keinginannya bertemu ibunya dan bertanya "apa yang terjadi?", kini ninja kesayangannya sudah memasuki pekarangan rumah. Mobil putih yang tak asing di mata langsung menarik perhatian. "Bukannya ini mobil opa?"

"Asalamualaikum," salam Dave memasuki rumah.

Dari ruang tamu, terdengar jawaban serentak beberapa orang yang sudah duduk di sana. Dave mengerjap, benar saja. Orang tua dari ayahnya sudah berkumpul di ruang depan. Tanpa menunggu, Dave segera menyalami kakek neneknya yang mengulas senyum padanya.

"Oma, opa apa kabar?" tanya Dave mendekati orang tua Rendra yang duduk berjejeran. Ia menyalimi keduanya dengan senyum tak pernah luntur dari bibir.

"Sehat, Sayang. Kamu gimana?" Giliran Rima yang bertanya tentang kabar cucu kesayangan. Dave hanya mengangguk dan mengatakan bahwa dirinya pun dalam kondisi baik. Jika saja tubuhnya dapat berbicara, mereka akan berontak tak membenarkan pernyataan yang Dave katakan.

"Ada acara apa oma opa ke sini?" Dave duduk di lantai, di samping sofa yang diduduki neneknya.

"Sayang, duduk di samping oma, dong. Masa di bawah?" Rima menarik tangan Dave agar anak itu bangun dan duduk di sebelahnya. Namun, remaja itu menolak dengan halus.

"Adem, Oma." Meski ditolak, Rima tetap memaksa dengan mata teduhnya. Dave tak bisa mengatakan tidak jika sudah begini. Akhirnya ia pindah duduk di antara Rima dan sang suami.

"Langsung ke intinya aja, Ren." Ucapan Adi, kakek Dave, membuat suasana berubah tegang.

Dave baru sadar, di mana Stevi sang ibu? Mengapa tak ada di sini? Anak itu celingukan ke kanan-kiri. Wajah bingungnya amat kentara hingga Rima menyentuh pahanya lembut, memberi tatapan seolah bertanya "ada apa?" kala bertatapan dengan cucunya.

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang