Pikir Melvan, Dave akan dipulangkan setelah dirawat beberapa saat setelah infus habis, ternyata pihak rumah sakit menahan agar Dave diopname dulu untuk beberapa hari ke depan demi kondisinya agar menemui titik stabil. Melvan yang sama sekali tidak ada persiapan, memilih pulang sebentar untuk mengambil pakaian bersih. Dave ia titipkan ke perawat yang berjaga, toh, anak itu masih tertidur pulas.
Sesampainya di rumah, ternyata orang tuanya sudah kembali dari luar kota. Melihat putra semata wayangnya terlihat lesu dan letih, Tari—mama Melvan—mengernyit bingung. "Melvan? Dari mana? Kok lesu begitu? Lagi marahan sama besti kamu?"
Sembari membawa dua cangkir teh panas mengepul, Tari berjalan ke ruang keluarga dan menanyai anaknya yang baru pulang. Melvan menatap mamanya penuh, dari atas sampai bawah, pakaian mamanya belum ganti, masih mengenakan pakaian kerja.
Segera Melvan hampiri dan membantu Tari membawa kedua cangkir yang semula berada di tangan mamanya. "Biar Melvan aja, Ma," pinta Melvan tanpa ditolak mamanya. Tari tersenyum menyadari kepekaan anaknya.
"Tumben kamu peka banget begini? Ada maunya, ya?" tanya Tari dengan senyum menggoda, lalu mendaratkan pantatnya di samping suaminya yang sudah bersandar kelelahan di punggung sofa.
"Pah, ini tehnya." Melvan meletakkan dua cangkir teh milik kedua orang tuanya bersamaan. "Baru banget sampai ya, Pah?"
Sang kepala keluarga yang semula sibuk membuang rasa lelah di pundak, duduk tegak ketika putranya ikut duduk di sampingnya dan menanyai tentangnya. Lumayan jarang Melvan bisa diajak mengobrol begini. Seringnya anak itu pergi main ke rumah sahabatnya, atau sekadar keluar tak tahu kemana. Meski demikian, tak membuat Agung marah karena ia sendiri tahu bagaimana jiwa anak muda, terlebih putranya ini laki-laki, pasti lebih betah keluar rumah.
"Iya. Tadi sempat kena macet, jadinya agak telat pulangnya. Toh, enggak ditungguin juga, kan, sama kamu?" ledek Agung menepuk paha Melvan yang sekarang hanya menanggapi ayahnya dengan senyuman.
Jujur suasana hatinya sedang tak sebaik itu untuk menanggapi ayahnya. Bukan ia tak suka, justru ia sangat mensyukuri orang tuanya yang masih memperdulikan dirinya di tengah kesibukan mereka mengurus bisnis. Hanya saja pikiran tentang sahabatnya masih tak kunjung baik, ia masih penasaran ada apa dengan Dave, mengapa tiba-tiba mendadak sakit bisa dibilang lumayan parah.
"Kamu lagi kenapa, sih, Melvan? Papa nanya begitu kamu cuma senyum. Habis diputusin Clara, ya?"
Melvan berdecak sebal. "Ish, apaan sih, Ma. Clara itu temanku doang, ya, enggak ada hubungan apa-apa aku sama dia."
"Ya, kan, kita enggak tahu gimana ke depannya. Iya, kan, Pah?"
"Mama udah, ya. Melvan lagi enggak mood bahas hal yang enggak penting begitu." Nada bicaranya yang serius membuat Tari mengangkat kedua alis sambil menatap sang suami. Tumben sekali putranya moody-an begini?
Melvan mengusap wajahnya kasar, diperhatikan oleh mama papanya, ia tak perduli. Kepalanya sungguh terasa penuh. "Ma, Pa, tahu enggak? Om Rendra nikah lagi."
"Hah? Nikah lagi? Om Rendra, papanya Dave?" Tari tak bisa menutupi raut terkejutnya, bahkan Agung yang sedang menyesap teh panas pun hampir saja tersedak gara-gara perkatakan ngawur anaknya.
"Ngawur kamu, Melvan. Jangan asal bicara."
Napas panjang keluar dari mulut Melvan. "Serius, Pa. Ini Melvan baru pulang dari rumah sakit. Di acara pernakahan papanya, Dave tiba-tiba pingsan terus sampai sekarang kondisinya masih belum stabil. Ini Melvan mau ke sana lagi, pulang cuma ambil baju ganti. Udah dari pagi Melvan pakai ini."
Pantas saja terlihat begitu lusuh, ternyata Melvan tak mengganti setelan kemeja sejak pagi tadi. Ya mau bagaimana lagi? Melvan tak sempat memperdulikan penampilannya. "Dari kemarin Dave berantakan banget. Bahkan hampir aja bunuh diri tahu enggak, Pah?"
"Anak sebaik itu, kepikiran buat bunuh diri?" Melvan hanya mengangguk pasrah. Ia sendiri pun tak menyangka akan separah itu luka di batin Dave.
Melirik ponsel yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Melvan bangkit. "Ya sudah, Ma, Pah, Melvan mau ke mandi terus ke rumah sakit lagi buat jagain Dave. Dari dirawat, enggak ada yang jagain selain aku."
☁
Tak bisa Melvan pungkiri, sejak pukul dua belas siang, perutnya belum diisi apa pun kecuali air mineral. Terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak kunjung menemui ujung yang jelas, Melvan sampai tak merasakan lapar sedikit pun, hanya sesekali merasa tenggorokannya kering dan barulah saat itu ia akan menenggak air minum.
Saat hendak pergi ke rumah sakit lagi, Tari memberinya bekal makan malam karena wanita itu tahu jelas, putranya akan sulit makan jika sedang banyak pikiran. Juga membawakan beberapa perlengkapan seperti tikar, pakaian hangat dan lain sebagainya yang bisa digunakan Melvan untuk tidur nanti karena Melvan bercerita ruang rawatnya kecil. Wanita penuh kelembutan hati itu juga berpesan agar putranya tak begitu memikirkan hal yang tidak baik. Cukup jaga Dave sebaik mungkin, menuntaskan tanggung jawab sebagai sahabat, tidak perlu ikut memikirkan apa-apa yang tak perlu.
Dan .... satu lagi yang membuat Melvan lumayan tenang, mamanya akan ke rumah sakit besok, bergantian menjaga sahabatnya sedangkan dirinya diperintahkan untuk berangkat sekolah saja meski entah bagaimana nantinya, ia berangkat atau tidak. Akan Melvan putuskan besok.
Kini Melvan sibuk menyantap makan malamnya sendirian, sambil sesekali melirik sahabatnya siapa tahu tiba-tiba terbangun. Kunyahannya terhenti ketika Dahi Dave berkerut lumayan dalam, disusul lenguhan lirih dari balik masker oksigen yang tak kunjung terlepas.
"Dave, lo bangun?" Melvan meletakkan kotak makannya ke atas nakas tanpa berpaling dari Dave sedikit pun. Rasa panik kembali merajai hati. Dilihatnya monitor yang semula terlihat terstur, kini naik turun tidak jelas.
Dave masih terpejam, tetapi kernyitan dalam membuat Melvan berdebar setengah mati. Keringat mulai membasahi pelipis juga kening Dave. Cepat-cepat Melvan menarik beberapa helai tisu kemudian mengelap wajah Dave yang sudah basah oleh keringat.
"Dave, lo kenapa?"
Dada Dave tampak naik-turun tak beraturan. Tak tahu lagi Melvan harus melakukan apalagi. Ia langsung keluar menuju tempat jaga perawat seperti sore tadi. "Ners, tolong Dave kayaknya susah napas."
"Bukannya sudah dipakaikan masker oksigen?"
Pertanyaan ners yang satu ini—sepertinya rekan ners Mia—lumayan tak nyaman didengar, tetapi apa perduli Melvan. Ia tak mau mengurus hal tak penting. Ia langsung mengangguk kemudian meminta agar ners tersebut lekas ke ruangan Dave.
Lagi-lagi, Melvan hanya bisa menyaksikan kesigapan perawat menangani Dave yang mendadak kesulitan bernapas padahal sudah mengenakan alat bantu napas. Tanpa sadar air mata keluar dari mata kiri Melvan, tetapi cepat-cepat ia usap dengan kasar. Ini bukan waktunya untuk menangis. Hanya saja refleks tubuhnya memang sepeka itu. Melvan saja kesal sendiri jadinya.
"Teman anda ada kelainan jantung, ya?"
Tembakan ners Ayunda—Melvan tahu dari tulisan di baju perawatnya—membuat Melvan membuka matanya lebar. "Hah? Kelainan jantung?"
"Iya. Soalnya ini napasnya berantakan banget. Sudah dapat hasil pemeriksaannya belum?"
Melvan menggeleng cepat. "Katanya ners Mia, dibilangin sama dokter yang kemarin meriksa Dave, hasilnya keluar besok?"
"Kalau sudah jelas hasilnya, ini harus cepat dikasih tindakan ya. Kondisi teman anda sepertinya lumayan serius. Saran saya lagi, mending dirawat di ruang rawat terpisah, jangan yang bareng gini. Biar lebih intensif perawatannya."
Hanya anggukan singkat, Melvan tak bisa bertutur apa pun lagi. Pikirannya kalut, mendadak tak ada kosa kata yang terlintas di pikirannya untuk ia susun dan ia lontarkan untuk membalas ucapan ners Ayunda. Hingga ners Ayunda memilih undur diri, Melvan masih berdiri mematung.
"Dave ..., tadi itu enggak nyata, kan, omongan ners Ayunda?"
![](https://img.wattpad.com/cover/195619959-288-k927971.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Come To Leave (Revisi)
Teen Fiction#sicklit #fiksiremaja Rahasia kedua orang tuanya yang terkuak sungguh memuakkan. Keluarganya semakin hancur bersama tubuh yang turut melebur bersama kata lemah dan lelah. Tak tahu dan tak mengerti apa yang sebenarnya Tuhan inginkan darinya. Dave han...