Dua Puluh Lima

1.7K 114 82
                                    

"Loh, Dave? Katanya lo masih izin sakit sampai besok. Kok sekarang hadiroh?"

Melvan yang baru menginjakkan satu langkahnya di kelas penuh kumpulan orang-orang yang jika ada tugas bukannya mengerjakannya sendiri, malah saling berbagi di grupsatu jawaban untuk satu kelaslangsung menjitak Nanda si ketua kelas. "Hadir, Blok! Lo kira dia betina?"

Tutur kata Melvan yang ketus membuat Nanda paham teman sekelasnya sedang dalam situasi hati yang buruk. Alasannya? Mana Nanda tahu, tebaknya masalah yang berhubungan dengan Dave. "Ya santai aja kali. Kebiasaan ngomong kotor nanti hisabnya susah, loh, Melv, kata umi gue."

Diperingati demikian, Melvan sudah kebal. Anak itu berjalan melewati pemimpin di kelasnya dengan lirikan tajam. "Berisik, lo, anak umi."

Reaksi Nanda biasa-biasa saja, tak ada amarah, tak ada rasa tersindir pula. Seperti mengakui, Nanda hanya menggeleng-geleng saja. Nyatanya, di kelas ini hanya dirinya saja yang waras, sisanya blas. Pandangannya kembali teralih kepada Dave yang kini sudah menelungkupkan wajah di tumpukan tangan di atas meja. Kemudian, menengok lagi ke Melvan yang tumben-tumbennya duduk di samping Rian.

Segera ia datangi Melvan dan bertanya, "Ngapain di sini? Tempat duduk lo tuh di situ, tuh," tunjuk Nanda ke bangku di samping Dave duduk. "Pindah, sana."

"Ogah gue duduk sama batu."

Tepat sekali tebakan Nanda. Dua tahun berada di kelas yang sama dengan dua tengil yang sudah mirip seperti pemeran utama kartun Upin Ipin, Nanda paham alur pertemanan kedua anak itu. Jika sedang tak akur, maka salah satunya akan menghindar. Yap, seperti sekarang. Namun, bila sedang akur, rusuhnya membuatnya harus mengelus dada. Nanda mendesah panjang, lagi-lagi ia mengalah demi tak ada keributan di pagi hari. 

Dalam satu kali tarikan, ia mengambil tas di belakang Melvan. Segera ia duduk di kursi kosong di samping Dave yang benar-benar tak terusik sama sekali. Tunggu! Dave diam saja ..., bukan pingsan, 'kan?

"Heh, Dave? Lo enggak pingsan, kan?" Nanda menggoyang lengan atas Dave pelan, takut-takut mengganggu tidur nyenyaknya. Ditatap Melvan yang sekarang sudah asyik memiringkan ponsel, jelas memainkan game favorit. 

"Melvan, nih anak enggak pingsan, kan? Diam aja, loh, daritadi," ucap Nanda sungguhan merasa cemas. Meski anak-anak di kelasnya kebanyakan menyusahkan, tanggung jawabnya tetap ia jalankan. Mungkin ini juga alasan wali kelasnya memilih Nanda menjadi ketua kelas, karena sudah terlihat sabarnya di atas yang lain.

Dengan malas, Melvan melirik sebal. "Biarin aja. Namanya juga batu, ya diam aja."


Jam istirahat pertama, Dave memilih keluar kelas sendiri, tak mengajak Melvan atau teman kelasnya yang lain. Kepalanya masih agak pusing gara-gara selama di kelas, ia hanya tidur. Kebetulan sekali pagi tadi jam kosong, semua murid di kelas melakukan sesukanya, kecuali ke kantin karena Nanda tak mengizinkan sama sekali. Meski lemah lembut, Nanda tegas dengan aturan yang ada. 

Silau mentari pagi sudah seperti terik jam dua belas siang, terasa begitu menyengat. Dave memicingkan matanya saat sekolahnya terlihat penuh siswa-siswi yang berlalu lalang entah ke kantin atau ke perpustakan yang menjadi tempat utama tujuan anak-anak saat istirahat. Tak perduli, ia tak mau mengurusi pilihan orang lain. Tujuannya kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, menemui Naya untuk mendapatkan maaf. Iya, Dave memang seniat itu mendekati anak kampung yang berhasil mengubah perasaannya di awal pertemuan.

Istirahatnya tak lama, hanya tiga puluh menit, jadi Dave segera melanjutkan langkahnya menuju kelas perempuan yang ia rindukan senyumnya. Tepat di langkah ke tujuh dari belokan tangga, seseorang menabrak punggung kanannya lumayan keras. Sontak Dave menengok siapa yang membuatnya menabrak dinding di samping kiri.

Tatapannya menajam saat tahu siapa yang menabraknyasepertinya dengan sengaja. Dadanya mendadak bergemuruh, diliriknya seseorang yang digandeng laki-laki itu. Cemburu? Sudah pasti. Namun, Dave juga sadar diri. Ia tak berhak cemburu apalagi sampai melarang keduanya saling jatuh cinta. Shit, memikirkannya saja sudah membuat Dave kesal.

"Buru-buru amat? Mau ke mana, sih? Minta maaf lagi ke cewek gue?"

Dave hanya memandang datar lelaki yang semakin ditatap, semakin mendidihkan ubun-ubunnya. Sebisa mungkin ia redam kesalnya, tak mau lagi ia terkena skandal di sekolahnya sendiri. Matanya teralihkan pada perempuan manis yang cara berpakaiannya masih sama, tak terlihat nyentrik berlebihan, tetapi lebih ke arah ..., sangat sederhana.

"Nay, lo masih belum mau bicara sama gue? Lo bilang udah maafin gue tapi kenapa masih diam?"

Anggap saja Gara hanyalah pohon yang berada di dekat mereka, Dave tak perduli jika laki-laki itu akan kembali mengejek dirinya. Yang terpenting baginya sekarang adalah maafnya diterima dengan kesungguhan hati, serta Naya tak lagi diam padanya.

"Saya sudah memaafkan Mas Dave, kok. Jadi berhenti ya, Mas?"

Berhenti? Maksud Naya, ia harus berhenti mengejarnya atau bagaimana? Dave paham, Naya memang sudah menjadi kekasih Gara, tetapi di relung terdalam, Dave tak terima kenyataan itu. Sebab, andai Sabtu lalu ia tak diuji dengan masalah keluarga dan tak melewatkan janjinya dengan Naya, gadis cantik itu akan menjadi kekasih hatinya. Mungkin.

Cukup tahu. Sepertinya memang ini akhir bagi cerita percintaannya. Ah, sial. Baru kali pertama menjalin hubunganbahkan belum sampai di  titik demikian. Dave tersenyum tawar. "Oke, Nay. Kalau itu mau lo. Gue bakal berhenti."


Sakitnya tak usah ditanya. Perasaan sudah mati rasa. Dalam segala hal, benar-benar berantakan. Keluarganya, sahabatnya, dan sekarang kisah asmaranya. Bagian mana yang salah? Dave semakin berprasangka tak baik pada jalan takdirnya. Jika begini, kebahagiaan yang mana yang ia kejar dan  meyakinkan dirinya untuk dihidupkan oleh Sang Pencipta.

Harus bagaimana lagi, Dave tak tahu. Segalanya terasa hampa. Sungguh. Sekali pun tak pernah terlintas dalam pikirannya akan mengalami hal seberat ini. Kakinya terasa berat meski hanya dibawa 'tuk melangkah. Dadanya sesak. Dave tak ingin meruntuki dan membenci takdirnya, tetapi mengapa sesulit ini?

Tak mampu lagi Dave menahan sesak dan mual yang semakin mendera, ia lekas pergi ke kamar mandi parkiran sekolah. Di bilik kecil itu, Dave cepat-cepat menyalakan keran air untuk menyamarkan suara. Sumpah demi apa pun, Dave lelah.

Selesai dengan urusan perut dan dadanya yang saling bekerja sama menyiksa, Dave berusaha menstabilkan napasnya dan tubuh yang terasa sedikit tremor. Bohong jika dirinya mengatakan tak panik saat penyakitnya mendadak menyerang begini. Terlebih saat sendirian, mati-matian ia jaga kesadarannya sendiri agar tak tumbang dilihat orang.

Kali ini teriknya sungguh menyengat hingga menerobos tulang tengkorak dan mendidihkan otak siapa saja yang berada di bawahnya. Pucatnya Dave tak bisa disembunyikan lagi, beruntung semuanya sibuk dengan urusan masing-masing, jadi Dave tak khawatir menjadi perhatian orang-orang sekitar.

Tepat kedua netranya menyapukan pandangan ke sekitar parkiran untuk mencari tempat teduh untuk setidaknya rehat sejenak, yang ia tangkap justru seseorang yang ia kenal dengan orang lain yang tak asing, tapi tak begitu ia kenal, tengah asyik berduaan. Setelah menatapnya seperkian detik, barulah ia mantap dengan apa yang mata dan otak serukan.

Di samping motor ninja hijau dekat pohon mangga yang sedang tak berbuah, dua sejoli saling melepas tawa tanpa beban. Napas Dave memburu, terlebih ketika tangan lelaki yang dilihatnya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga sang gadis.

Gara bermesraan dengan perempuan lain! Tentu hal ini tak bisa Dave biarkan. Meski badannya terasa lemas setengah mati, ia paksakan diri untuk bangkit, hendak memberi pelajaran kepada laki-laki sialan itu. Namun, hatinya berbisik, dan menggagalkan rencananya.

Tangannya beralih melepas tas di belakang punggung, kemudian fokus mencari ponsel yang seharian ini malas ia buka. "Anjir di mana, sih?! Lagi dibutuhin malah enggak ada."

Akhirnya ponsel sudah di tangan. Ia langsung membuka kamera dan membidik ke arah dua sejoli tadi. Saking fokusnya memperbesar objek yang akan dipotretnya, Dave tak sadar seseorang turut tertangkap kamera. Hingga akhirnya ia sadar, ia lekas menurunkan ponselnya dan menatapnya penuh rasa sakit.

"Naya?"

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang