Enam Belas

1.8K 138 10
                                    

Tak dipikirkan, tetapi tetap saja otaknya menerka-nerka. Mengapa dokter yang memeriksanya menyarankan untuk memeriksakan diri ke poli paru alih-alih memberitahukan penyakit apa yang Dave derita. Hasil pemeriksaan siang tadi rasanya sangat tidak memuaskan. Siapa yang akan puas dengan jawaban dokter yang hanya mengatakan, "Sepertinya anda harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut di poli paru, khawatir ada masalah di paru-paru anda mengingat keluhan anda berhubungan dengan sesak napas." Saat Dave menanyakan hasilnya.

"Heh!" Semua pikirannya langsung buyar ketika Melvan melempar bulatan putih sebesar kelereng ke arah wajahnya yang sudah pasti tampak serius berpikir. "Mikirin apa, sih? Omongan dokter?"  tebak Melvan tak asal sebab ia tahu, kawannya tiba-tiba diam sejak pulang dari rumah sakit sore tadi.

"Enggak usah terlalu dipikirin. Bisa jadi lo cuma kena masalah ..., apa, sih? Nyium asap rokok kali lo. Lo, kan, ngudud."

Tak terima, Dave langsung melotot tajam. "Eh, mulut lo dijaga, ya, Dumpling Meteor! Seumur hidup enggak pernah gue nyentuh barang kayak begituan."

"Alah, kemarin aja lo minum, kan? Dih, minum aja pernah, apalagi ngu—"

"Bacot, lo, Melv!" Sungguh tak terima ia dianggap sering menghisapnikotin yang digadang-gadang memberi sensasi tenang, bahkan sampai ada yang rela tak makan ketimbang tak menghirup asap sialan itu. 

Dave akui, ia memang begitu bodoh kemarin malam. Membeli minuman keras yang seumur hidup baru Dave pernah sentuh hingga ia tenggak dengan dalih ingin mendapat ketenangan. Namun, mau bagaimana lagi. Saat itu pikirannya kalut, tak bisa ia gunakan untuk berpikir lebih jernih, yang ia damba hanyalah ketenangan dan rasa ingin melupakan sakit yang terus mendera dada.

Melvan mendaratkan pantatnya di samping Dave yang sudah lebih dulu merebahkan diri dengan nyamannya di kasur empuknya. By the way, sepulang dari rumah sakit tadi, Dave mengajaK Melvan membeli kasur untuk mengganti yang ada di kamar Melvan. Mau sedekat apa pun mereka bersahabat, tetap saja Dave merasa tak enak hati. Melvan pun sempat menolak, tapi Dave mengancam tak mau berteman dengannya lagi jika terus menolak. Ketimbang sahabatnya kabur, lebih baik ia terima saja. Jika dipikir-pikir, menolak pun untuk apa. Dirinya juga tak meminta. Diberi ya diterima. Begitu Melvan pikir.

"Gue cuma heran aja gitu, loh, Melv. Kok bisa gue disuruh periksa lagi. Padahal,kan, tinggal kasih tau aja, ya, gue sakit apa. Kenapa jadi ribet gini, sih? Ogah, ah, periksa lagi."

"Jangan gitu, Anjir. Emang bener, sih, kenapa dokternya kagak kasih tau aja lo sakit apa. Tapi mungkin dia, kan, dokter umum. Jadi daripada salah diagnosis entar salah kasih obat atau salah kasih cara buat sembuh, dilempar aja ke yang udah ahlinya. Iya enggak, sih?" Benar juga kata Melvan. Namun, tetap saja hal demikian membuat perasaannya sama sekali tak tenang mau berusaha bagaimana pun.   

"Kalo gue beneran sakit apa gitu yang ada hubungannya sama paru-paru gimana, Melv? Entar gue cepet mati enggak, ya?"

"Mati mulu yang ada di pikiran lo." Jujur Melvan lumayan muak dengan Dave yang tak berhenti membahas kematian di hadapannya. Tahu, mungkin karena sedang banyak masalah, Dave lebih pendek berpikir, tetapi ya, bukan kematian juga. Masalah yang sedang dihadapi juga bukan masalah yang berhubungan dengan nyawa.

Tengah dilanda kegalauan mendalam, Dave tak begitu menghirauan kalimat yang Melvan lontarkan. Ia malah kembali masuk ke dalam pikiran buruk yang semakin membuatnya merasa terkungkung. Telepon yang sedari tadi tergeletak dibuarkan begitu saja di atas nakas berdering nyaring membuat keduanya sama-sama menoleh ke arah ponsel. Dengan malas Dave bangkit, mengambil ponsel yang terus berdering. Setelah melihat siapa yang meneleponnya malam-malam begini, Dave berdecak kasar.

"Ngapain lagi, sih, ini orang? Pasti mau nyuruh pulang. Padahal udah tau anaknya kehilangan rumahnya gara-gara dia." Dave berbicara seolah tengah didengar oleh benda pipih yang dipegangnya. Melvan hanya memandangi dari tempat semula, membiarkan Dave menyelesaikan teleponnya—yang belum juga diangkat.

Meski enggan, Dave tetap menekan tombol hijau dan menempelkan benda yang sepertinya sudah tak begitu berharga baginya ke samping telinga. Tampang datarnya sungguh kentara, bibir terkatup tanpa lengkungan membuat Melvan paham siapa yang menelepon. Tak berapa lama kemudian, Dave menjauhkan ponsel dari telinganya. Panggilan selesai, Melvan menunggu apa yang akan Dave katakan kepadanya.

Dave menegok ke arah Melvan, mereka saling tatap kurang lebih lima detik hingga akhirnya Dave berkata, "Gue disuruh pulang, kalau enggak, gue enggak bakal dibolehin ketemu lagi sama mama, selamanya."

Mengatakan hal demikian pun, dengan tanpa ekspresi, membuat Melvan langsung paham seberapa kesalnya Dave kepada ayahnya. Dave menuruni ranjang, lekas mengenakan jaket Melvan yang tentu muat ia pakai sebab ukuran tubuh mereka tak jauh berbeda. "Gue temenin. Gue bakal nginep di rumah lo."

"Yok cabut."


"Sopan kamu masuk rumah tanpa salam kayak gitu?"

Bukan sapaan hangat yang dulu selalu ayahnya lontarkan kepadanya kala pulang main terlampau sore. Diam-diam Dave tersenyum getir. Sesakit itu ternyata hidup di tengah keluarga yang sudah di ujung kehancuran.

"Sopan juga Papa bawa perempuan masuk ke rumah ini, bahkan tinggal bareng padahal belum ada ikatan yang jelas?"

Skakmat. Dave benci basa-basi sekarang. Tak perduli berhadapan dengan siapa ia saat ini, muak tetaplah muak. Rendra yang tengah menikmati wangi secangkir kopi buatan calon istri, lekas bangkit dan berdiri menghampiri Dave yang tetap berdiri diam tanpa ada niatan pergi. Dari tampangnya, Dave justru menantang ayahnya beradu.

"Papa sekolahin kamu biar jadi orang berpendidikan, ya, bukan jadi berandalan kayak gini." Tangan Rendra menunjuk tegas ke wajah Dave yang sungguh datar. Bahkan Melvan yang berdiri di samping Dave saja sudah ketar-ketir, takut kejadian beberapa hari yang lalu kembali terulang lagi.

Bukan takut yang Dave rasakan, malah Dave semakin tajam menatap ayahnya yang mulai tersulut bara api. Anak laki-laki yang sudah terlanjur kecewa dengan panutan hidup di hadapannya itu mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang hanya duduk diam di sofa yang selalu menjadi tempat keluarga kecilnya berkumpul. Ia lantas menunduk dan tersenyum miring. "Berengsek," lirihnya.

"Kurang keras, Dave." Rupanya Rendra mendengar umpatan anaknya.

Perintah ayahnya sungguh menantang. Dave lantas mengangkat kepala dan mengulang satu kata yang sepertinya semakin membangkitkan setan dalam tubuh ayahnya. "Berengsek."

Tangan Rendra terangkat tinggi, menegaskan bahwa dirinya dibakar amarahnya oleh darah daging sendiri. Sebelum telapak tangan kasar itu menyapa wajah Dave lagi untuk entah keberapa kalinya, Melvan menahan lengan Rendra tepat di depan wajah sahabatnya. "Maaf, Om. Sudah ya, Om? Dave capek." Tidak ada emosi, Melvan mengatakannya dengan begitu tenang.

"Udah yok, Dave. Ke kamar lo. Istirahat. Lo capek, kan, seharian ini muterin rumah sakit?"


"Bangke jantung gue dipertaruhkan tadi buat nyelamatin muka ganteng lo itu, Anjay!" Melvan menggeleng tak habis pikir. Si pelaku malah tampak santai membelai gulingnya yang sudah dua hari tak ia cumbu. 

"Lagian lo apaan banget, sih, Dave, ngomong kayak gitu ke bokap lo? Udah tau lagi gila, lo panas-panasin. Kebakar, lah."

"Gue ngomong apa ke bokap gue? Berengsek?" ucap Dave balik bertanya.

Melvan mengernyitkan dahinya bingung. "Lah? Gue ngomong berengsek ke orang yang ada di sofa kesayangan gue, Njir. Apaan singgasana gue sama keluarga gue didudukin sama orang murahan kayak dia." Tanpa ditanya, Dave menjawab tanda tanya yang ada di kepala Melvan.

Baru Melvan sadari, sebelum semakin memanas perseteruan ayah dan anak yang ia saksikan, Dave memang sempat menatap ke arah perempuan yang sepertinya menjadi selingkuhan ayah dari sahabatnya dengan tatapan benci. Ia hanya mengangguk, kemudian ikut merebahkan diri di samping Dave.

"Eh, Anjir!"

Melvan turut terlonjak kaget saat Dave tiba-tiba bangun tanpa aba-aba. "Kenapa?"

"Gue lupa ada janji sama Naya."

"Janji? Sama Naya?"



Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang