Tiga belas

1.8K 136 17
                                    

Langkahnya tak karuan, bersama tubuh yang sudah amat lelah hingga pada akhirnya, ia memilih seseorang sebagai tempat kembali, sahabatnya. Kini, sudah tidak ada lagi kata rumah adalah tempat pulang, Dave sudah tak mempunyai ruang itu. Sialnya, ia tak punya orang selain Melvan untuk dipaksa mengerti semua tentang dirinya.

Dave tersenyum miris, membayangkan dirinya yang sudah seperti orang gila, tak tahu arah mana yang akan dituju, semua terasa ingin lekas ia akhiri saja. Di tempat yang kini sudah tampak sepi, Dave menggenggam kuat pegangan kantong plastik berisi minuman yang seumur hidup belum pernah ia sentuh satu kali pun.

Orang-orang bilang, minuman ini akan menghilangkan segala kegelisahan, memberi ketenangan hingga mencapai alam bawah sadar dengan tenang. Jujur saja Dave butuh itu. Meski salah cara yang dirinya ambil, tetap saja pikirannya yang kacau tak lagi menghiraukan.

"Dave enggak bakal salahin siapa pun, mungkin kesalahannya itu terletak sama Dave sendiri. Kenapa Dave harus lahir, harus ada di antara kalian," lirih Dave mendudukkan diri di bangku kosong yang begitu dingin.

Tangan yang lemas, ia paksa menarik sebotol minuman entah apa rasanya, yang digadang-gadang bisa memberi ketenangan jiwa. Tanpa ragu, seperti orang yang mulai kehilangan kesadaran, Dave menenggak langsung botol yang sudah terbuka. Tenggorokannya terasa panas, disusul rasa pahit—ah, Dave tak tahu lagi apa yang indera pengecapnya rasakan.

Saking tak sadarnya Dave meneguk minuman tanpa hitungan untuk menelan, pemuda berkulit pucat yang menikmati kesendiriannya itu terbatuk hingga dadanya terasa nyeri. Bukannya berhenti, Dave malah tersenyum miring, seolah mengejek dirinya sendiri.

"Tuhan, kenapa enggak matiin aja Dave? Kan, sekarang Dave udah enggak punya siapa-siapa, enggak berguna juga." Seolah sedang saling tatap, Dave menatap langit yang indah ditaburi bintang di atasnya sendu.

Sesak, dadanya bak ditikam ribuan belati secara bersamaan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi kepadanya dan .... akan seberapa lama? Meski tak pernah dipandang di mata orang tuanya, Dave akan jauh merasa lebih baik jika keluarganya tetap satu. Jika sudah begini ceritanya, bukankah orang akan menertawai kisah hidupnya yang terlalu banyak drama?

Pusing sudah merajai isi kepala, tangannya yang semula menggenggam erat botol, kini melepaskan benda yang dipegangnya hingga pecah berkeping-keping. Kepalanya benar-benar terasa penuh saat ini, hingga pandangannya begitu buram dan pada akhirnya ia memilih bangkit.

Kaki beralaskan sepatu, tak sengaja mengenai pecahan botol tadi. Bermaksud membersihkan keping demi keping beling yang tersebar berantakan gara-gara dirinya, tangannya malah tergores pecahan cukup dalam hingga darah mengucur tak berhenti. "Shit! Mati sekarang aja boleh enggak, sih?"

Dave sudah terlalu lelah menangisi takdirnya yang seperti tengah dipermainkan oleh pencipta-Nya. Tanpa sadar, tangannya menggenggam pecahan botol cukup kuat hingga cairan merah kental berasal dari telapak tangannya itu semakin tercecer di ubin taman.

"Lo ngapain, Bangsat!"

Tubuhnya terasa begitu ringan kala seseorang menarik dan mendorongnya dalam sekali hentakan hingga jatuh terduduk. "Lo kalau mau mati, enggak begini caranya, Dave!"

Mengetahui siapa pemilik suara memekakkan telinga yang tiada angin tiada hujan tiba-tiba datang di hadapan, Dave tersenyum miris. Ia kemudian melirik tangannya yang masih terus mengeluarkan darah. Dari tatapannya, Melvan sudah tahu sehancur apa sahabatnya saat ini. Namun, ia takkan membenarkan perbuatan bodoh yang baru saja ia saksikan untuk kali pertama.

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang