Dua Puluh Enam

1.7K 116 72
                                    

"Naya?"

Detak jantungnya berhenti hingga tiga detik saat melihat seseorang berdiri di belakang dua orang yang sedang bermesraan. Dave memang sengaja hendak memotret Gara yang sedang bercanda mesra dengan salah satu anggota OSIS yang lumayan sering ia lihat sibuk mengurus kegiatan sekolah.

Entah ada yang memperhatikan mereka atau tidak, tetap saja ini salah. Jelas-jelas Gara sering mengajak Naya pergi sambil bergandengan tangan, bukankah tak mungkin murid-murid yang lain mewajarkan hal demikian? Sungguh tak mengerti apa yang sedang terjadi, Dave benar-benar tak habis pikir. Bahkan tubuhnya seperti terpaku melihat bagaimana patahnya hati Naya yang bisa ia lihat dari kejauhan.

Tidak bisa lebih lama lagi Dave melihat perempuan yang ia puji kelembutan dan kesabarannya berdiri dengan menahan air mata di pelupuk. Dave benar-benar tak terima. Melupakan semua sakit yang tengah ia rasakan, kakinya melangkah mendekati tiga orang yang menjadi tersangka pedihnya mata.

"Berengsek juga lo, Bangsat!" umpat Dave semakin cepat memangkas jarak antara dirinya dan Gara, sembari mengambil ancang-ancang, Dave melepas pukulannya tepat di wajah kanan Gara yang langsung terhuyung ke kiri sebab tak siap.

"Otak lo taro di mana, hah?!" tanya Dave tanpa ekspresi dengan napasnya yang memburu. Sebisa mungkin ia tahan emosinya agar tak memicu keributan—meski nyatanya ia sudah menjadi tontonan murid yang akan meninggalkan area sekolah.

Dari senyum miringnya, Gara seperti tak merasa malu dengan yang sudah diperbuat. Justru laki-laki yang sudah mematahkan harapan Dave perihal orang terkasih, Gara puas melihat api yang tersulut di mata musuhnya. "Apa-apaan lo mukul gue sembarangan gini?"

"Lo mesra-mesraan sama cewek lain di depan mata cewek lo sendiri. Lo udah enggak waras atau gimana?" Dave memang tak melepas pandangannya dari Gara barang sedetik pun, tetapi tangannya sudah pasti terarah ke Naya yang tetap diam di tempatnya. 

Mengikuti ke arah mana Dave menunjuk, senyum Gara perlahan memudar saat melihat eksistensi Naya berada hanya tiga meter di belakangnya. Hanya beberapa detik, kemudian Gara langsung menatap Dave lagi. "Jangan sok tahu! Gue sama Erika cuma teman, dan kita mau kerja kel—"

"Maksudnya cuma teman? Kamu bilang pacaran sama anak cupu itu cuma karena kasihan itu anak dibully terus? Gimana, sih, Gar?" Perdebatan semakin panas saat Erika, perempuan yang bersama Gara di parkiran, turut angkat bicara.

Erika menatap Gara bingung, raut kecewa di wajahnya tak bisa disembunyikan. Bahkan Dave pun turut menatap Gara geram. "Naya minta gue jadi pacarnya, karena dia tahu gue anak kepala sekolah di sini, anak-anak enggak bakal bully dia lagi. Salah gue lakuin itu?"

Penjelasan Gara membuat Dave lekas menatap Naya yang sekarang sudah menunduk tanpa bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Dave tak sanggup melihat gadis pujaannya melelehkan air kesedihan dari pelupuk mata. Perhatiannya bukan lagi Gara dan Erika yang sekarang mulai beradu mulut, tetapi Naya yang harus ia tenangkan dengan caranya.

"Beneran yang dia bilang?" tanya Dave ingin memastikan. Naya mengangkat wajah. Tatapannya sendu, membuat hati Dave sungguh tersayat. Anggukan pelan dari Naya, membuat Dave membuang napas panjang. 

Bukan marah dengan kenyataan menyebalkan, tetapi justru Dave kesal dengan dirinya sendiri. Andai saja dirinya lebih dulu menyatakan perasaan, pasti ceritanya takkan berakhir seperti ini. Penyesalan kembali menggerogoti hati. Gara memang mempermainkan perasaan Naya, tapi hal itu seperti imbas karena dirinya melupakan janji yang telah dibuatnya.

"Harusnya lo bilang ke gue. Di belakang gue, lebih aman daripada di belakang dia."

Dave tak mau menyesal untuk kali kedua. Ia tarik pergelangan tangan kanan Naya lembut, membawanya ke hadapan Gara. "Sekarang lo enggak perlu lagi pura-pura lindungin dia. Naya sekarang milik gue dan tanggung jawab gue. Sepenuhnya."

Di tengah teriknya matahari memancar, di bawah angkasa yang beberapa awan menggantung menyaksikan bagaimana Dave mengambil Naya ke dalam dekap hangatnya. Dave memilih menyudahi semua drama dan mengajak Naya meninggalkan tempat yang sekarang mereka pijak. Tak perduli dengan beberapa pasang mata yang masih memperhatikan gerak-geriknya, Dave memilih acuh.

"Hidup lo sendiri aja berantakan, keluarga lo hancur. Sekarang lo mau ajak anak orang ikut hidup susah di situasi begitu?" 

Langkah Dave membeku, desiran dalam tubuhnya terasa memanas. Siapa saja boleh mengusiknya, ia takkan memperdulikannya. Namun, kehidupan keluarganya tak ada yang boleh ikut campur. 

Dari belakang, Gara kembali tersenyum miring. Aib keluarga Dave, tak banyak yang tahu. Hanya segelintir orang, mungkin malah satu atau dua orang saja yang tahu. Dave sendiri bahkan menyembunyikan identitas aslinya sebagai cucu dari pemilik sekolah karena tak mau kehidupan keluarganya terlalu terekspos dan terganggu.

"Kemana sekarang nyokap lo? Rebut suami orang lain? Bokap lo, sama?"

"Bangsat! Jangan pernah sebut-sebut keluarga gue dengan mulut berengsek lo!" Dave berbalik badan dan langsung menyalurkan marahnya dengan memberi pukulan yang lagi-lagi ke wajah kanan Gara.

Bukannya kesakitan, Gara justru tertawa puas melihat Dave yang termakan emosinya sendiri. "Bokap lo, cuma bisa hancurin hidup orang! Sekarang rasain sendiri lo di posisi gue! Lo kira lo jadi orang paling sakit selama ini? Lemah!" 

Kali ini pukulan dibalas pukulan. Dave yang sejak awal memang sedang tidak baik-baik saja, langsung tersungkur ke tanah. Pijakannya terasa hilang dan dunia berputar kencang. Mendadak Dave kehilangan oksigen yang semula ada. Dipegangnya dada kirinya kuat-kuat, tetapi yang ada justru kegelapan yang membawanya pergi.

☁️

Binarnya kembali meredup, setelah mencoba melindungi seseorang yang ia sukai, serta keluarganya yang tak bisa sembarangan orang bisa menghina. Walapun memang keluarganya berantakan, ia tak mau orang lain tahu. Hanya ia yang mengalami dan merasakan sakitnya. 

Rembulan sudah menggantikan tugas sang mentari menerangi bumi, tetapi pemuda yang menahan sesak dan sakitnya sejak memulai hari, masih setia terpejam. Pucat di wajahnya semakin kentara, dibantu oleh masker oksigen yang lagi-lagi menghiasi wajah, membuatnya semakin mengkhawatirkan. Di luar ruangan, dua orang paruh baya menanti dengan kecemasan yang tiada henti.

Bunyi telapak alas kaki dari belokan lorong membuat dua orang yang menanti cucu kesayangannya pulih kembali itu mengalihkan pandangan. Suasana dingin sejak pukul tujuh malam tadi, semakin menusuk saat pria yang ditunggu-tunggu kedatangannya menampakkan wajah.

"Sekarang apa yang mau kamu lakukan? Cucu saya satu-satunya, harus terbaring dengan banyak alat di dalam karena anakmu yang tidak tahu aturan itu. Mau tanggung jawab seperti apa kamu?"

Pandu, pria yang diliputi rasa bersalah sebesar-besarnya kini menunduk saat sudah berada tepat satu meter di depan Adi. Rima menahan lengan Adi, takut suaminya akan melayangkan tamparan saking kesalnya orang lain mengusik hidup keluarganya. Tanpa Rima melakukan itu, sebenarnya Adi sadar di mana mereka sedang berada. Pria itu lalu menurunkan tangan istrinya pelan dan tersenyum singkat.

"Saya tidak tahu alasan anakmu memukul cucu saya karena apa, sampai saya tahu alasannya, saya minta anda untuk bersiap-siap melepaskan jabatan di sekolah."

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang