PART 3

55 5 2
                                    

Rintik hujan kembali turun malam ini. Suara gemerciknya seakan turut mengerti kondisi Yasha saat ini.

Gadis yang belum genap 24 tahun itu menatap dirinya didepan cermin disudut kamarnya. Dirinya begitu kacau. Mata yang sembab dengan rambut kusut terurai menghiasi wajahnya malam ini. Ia sudah pulang satu jam yang lalu. Persiapan pernikahannya bersama Rania hari ini cukup membuatnya lelah. Bukan, ia lelah bukan karena aktifitasnya hari ini, ia lelah karena harus berpura-pura riang didepan Rania.

Pesan dari Ayyas tadi pagi cukup menganggu pikirannya sepanjang hari.

-Ayyas-
"MUNAFIK"
Sebuah pesan yang amat menohok hatinya.

Yasha langsung menuju kamarnya begitu sampai di rumah. Tak menghiraukan panggilan ibu dan kakaknya. Ia beralasan sudah makan ketika Reza mengetuk pintu kamarnya menyuruhnya makan malam. Padahal sedari pagi tak ada sesuap nasipun yang masuk dalam perutnya. Ketika Rania mengajaknya makan ia pun beralasan tidak lapar. Ia sama sekali tak berselera untuk melakukan hal apapun saat ini.

Yasha terisak disudut ruang bercat biru muda itu. Ia merobek kerudung yang ia pakai. Merasa tak pantas memakai jilbab yang telah ia kenakan sejak 2 tahun yang lalu.

Bermula sejak Yasha mengenal Ayu, gadis sederhana lulusan pesantren, di acara seminar bedah buku.

Dari perkenalan yang tak sengaja itu Ayu berhasil memperkenalkannya pada jalan hijrah. Mengajaknya mengikuti kajian rutin setiap pekan disalah satu masjid dikotanya. Ayu pun dengan sabar membimbing sahabatnya itu agar tetap istiqomah dijalan-Nya.

Dari pengajian yang ia ikuti, perlahan namun pasti ia pun merubah segala perbuatannya sesuai aturan agama yang ia pelajari.

Namun satu yang tak pernah bisa ia lawan. Perasaannya pada Ayyas. Kenyataan bahwa ia amat berat jika harus meninggalkan lelaki bertubuh jangkung itu. Ia menyerah, lalu diam-diam memperbaiki kembali hubungannya dengan Ayyas yang hampir kandas.

Jilbabnya masih setia ia kenakan. Dengan dalih tak berbuat sesuatu diluar batas dengan Ayyas, ia menikmati hubungan 'jalani saja' nya itu.

Meski terkadang ia merasa dirinya munafik, tapi berulang kali Ayyas berhasil meyakinkan dirinya bahwa hubungan yang mereka jalani bukanlah hubungan yang tak pasti. Suatu saat nanti Ayyas pasti akan menikahi Yasha. Begitu janjinya.

Penyesalan memang tak pernah membuat awalan bukan?.
Zina tak kasat mata mungkin pantas untuk menggambarkan perbuatan Yasha dan Ayyas selama ini. Syaitan memang selalu punya beribu cara untuk menyesatkan manusia. Kebathilan berselimut kebaikan. Tinggal bagaimana kokohnya perlawanan manusia itu sendiri untuk menghadapinya.

Pikiran Yasha semakin kacau ketika lagi-lagi pesan Ayyas terbayang dipelupuk matanya. Kini ia semakin merasa dirinya memang benar-benar munafik. Segala perbuatan hina di masa lalunya berputar-putar di pikirannya.
Ponselnya bergetar, pesan dari Ayyas datang beruntun.

'Yasha, maafkan aku'

'Yasha, kembali sama aku, kamu tidak akan bahagia kalau bukan sama aku'

'Jangan harap pernikahanmu berjalan lancar, Sha'

Yasha mematikan ponselnya.
Lalu beranjak mematikan saklar lampu. Dalam kegelapan Yasha berusaha kembali ke sudut kamarnya.
Ia berusaha keras agar isakannya tak terdengar siapapun, meringkuk disudut kamar dengan air mata yang memburai.

Sekuat tenaga Yasha berusaha menahan sebuah keinginan yang mendorong jiwanya sedari tadi.
Tak lama Ia merasa dadanya sesak. Pandangannya buram. Ia ambruk seketika.

***

Reza baru saja menyelesaikan makan malamnya begitu ia melewati kamar Yasha di lantai 2. Kamarnya dan kamar Yasha memang bersebelahan. Masih pukul 8 malam. Ada rasa khawatir di dirinya, tidak biasanya adik yang hanya terpaut satu tahun dengannya itu mengurung diri di dalam kamar.

"Yasha"  Reza mengetuk pintu kamar Yasha.

"Sha..."

"Sha...lo udah tidur?" Tak kunjung ada sahutan, Reza memutar handle pintu yang ternyata tidak dikunci.

Ia membuka kamar Yasha perlahan dan mendapati kamar itu dalam keadaan gelap. Karena khawatir, Reza mencari saklar lampu dan segera menyalakan lampu kamar Yasha.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Yasha yang tergeletak disudut kamarnya.

"Astaghfirullah...Yasha"

Reza mendadak panik, ia menghampiri Yasha, segera membopong tubuh Yasha menuju ranjang. Ia semakin khawatir ketika ia menyentuh kening Yasha yang berkeringat, alih-alih mengusap keringatnya, ia justru mendapati kening adiknya itu panas.

Reza turun dari kamar Yasha, ia menuju dapur mengambil kompres. Orang tuanya mungkin sudah berada di dalam kamar.

"Bi, tolong buatin bubur sekarang ya, terus bawain ke kamar Yasha" pintanya pada Bi Sari, ART dirumahnya yang baru saja selesai mencuci piring didapur.

"Siap den"

Reza mengompres Yasha. Suhu tubuhnya tinggi. Yasha yang merasakan sesuatu dikeningnya akhirnya membuka mata. Ia terkejut mendapati kakaknya menatapnya dengan wajah khawatir.

"Kak..."

"Haus?" Tanya Reza masih dengan nada khawatir.

Yasha mengangguk lemah, Reza membantu dirinya duduk dan mengambilkan segelas air yang tersedia di atas nakas.

"Kenapa?" Tanya Reza begitu melihat adiknya yang tiba-tiba menangis. Ia mengambil gelas yang masih dipegang Yasha, meletakkannya kembali diatas nakas, Yasha hanya meminumnya seteguk.

Reza bergerak untuk memeluk Yasha.
"Kalo ada masalah cerita sama kakak" ucapnya.

Yasha memilih bungkam, ia menenggelamkan kepalanya di dada Reza. Berada dipelukan kakaknya membuatnya bisa melupakan sejenak segala pikiran negatif tentang masa lalunya.

"Engga ada masalah sama Rey kan?" Tak kunjung mendapat jawaban, Reza menyinggung tentang calon suami adiknya, Reyvan Aditya.

Yasha menggeleng, ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Atau sama Ayyas? Kamu engga ada hubungan sama dia lagi kan?"

Yasha bergeming. Reza mengerti, percuma saja ia menanyai adiknya dalam kondisi seperti ini. Reza membiarkan Yasha meluapkan segala tangisannya, ia mengusap lembut kepala adiknya itu, menyalurkan ketenangan.

Yasha melepas pelukannya seiring diketuknya pintu kamarnya, Bi Sari datang membawa nampan yang berisi semangkuk bubur yang dipesan Reza.

"Buburnya den"
Reza bangkit lalu mengambil nampan dari tangan Bi Sari.

"Makasih ya Bi"

"Sama-sama den" jawab bi Sari kemudian berlalu meninggalkan kamar Yasha.

"Makan ya"

Yasha menggeleng.
"Engga laper kak"

"Makan, sedikit aja, nangis itu butuh tenaga" ucap Reza mencoba bergurau.

Yasha memukul lengan Reza kesal.
Reza terkekeh, lalu mulai menyuapi Yasha.
"Abis makan tidur, jangan mikirin apa-apa lagi, oke" ucapnya yang kemudian di angguki oleh Yasha.

_bersambung_

Part 3 nya segini dulu yya..
Nantikan terus part selanjutnya..

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang