PART 17

25 4 0
                                    

Kebahagiaan terletak pada kemenangan memerangi hawa nafsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan.

***

Pukul 08.00 pagi. Di dapur, seseorang yang baru saja berstatus sebagai seorang istri beberapa hari lalu sibuk dengan penggorengan di hadapannya. Potongan wortel dan bawang bombay ia masukkan dalam wajan yang sudah di lumuri margarine. Udang dan cumi menjadi bahan pelengkap utama menu sarapannya.

Seduhan teh hijau tertuang dalam dua cangkir porselen bermotif abstrak, sesendok madu dan perasan lemon yang turut larut menambah cita rasa yang pekat. Kepulan asap yang menari di atasnya menciptakan aroma yang memikat. Setelah memastikan sajiannya tertata sempurna, air bening yang mengayun dalam kolam renang memusat perhatiannya. Sinaran hangat yang menerpa kulit wajah menciptakan harmoni cantik dalam parasnya yang indah.

Senyum bulan sabit ia sunggingkan, hari ini tepat satu pekan pernikahan. Menjalani hari layaknya seorang istri berusaha ia laksanakan. Walau seringkali sang suami memanjakan, tapi bukan berarti ia menggunakan semena-mena berbagai kesempatan.

Sebisa mungkin pekerjaan rumah ia selesaikan, segala kewajiban ia tunaikan. Menjadi sebaik-baik istri di hadapan suami, menjadi semulia-mulia wanita di hadapan Illahi Robbi, adalah impiannya yang sejati.

Menyipitkan mata yang tersorot mentari pagi, deburan air dalam kolam mulai menginstruksi diri. Menghampiri suami yang mulai menepi, ia menyodorkan handuk berwarna merah hati.

"Sarapan dulu," serunya.

"Terima kasih cantik," pemilik mata coklat itu menyambar handuk dari tangan sang istri, mengeringkan tubuh yang bersimbah air bening. Selain berlari, berenang adalah salah satu aktifitas Reyvan hampir setiap pagi, merenggangkan tubuh sebelum memulai hari.

"Aku tunggu di meja makan ya,"

"Oke."

***

Hanya butuh waktu lima belas menit Reyvan menghampiri istrinya di ruang makan. Sarapan pagi telah tertata rapi di meja. Aroma nasi goreng seafood berpadu dengan wangi teh hijau cukup mengundang selera. Ini masakan pertama yang Yasha buat. Hari-hari sebelumnya mereka di sibukkan dengan liburan pasca pernikahan yang menuntut mereka lebih sering makan di restaurant.

Binar keraguan terpancar jelas dari wajah Yasha. Takut-takut masakannya tak ramah di lidah. Reyvan makan tanpa komentar, hanya dentingan sendok yang bersuara. Hati-hati ia menggumamkan tanya tepat pada suapan ketiga.
"Enak?"

"Mmm..."

"Kalau engga enak, jangan di lanjutin,"

Reyvan terkekeh mendengar suara Yasha yang diliputi kebimbangan. Dalam diam, ia menjawab, masakan yang di buat Yasha sama persis dengan buatan bundanya. Bukan hanya enak, tapi juga menjadi masakan terlezat yang pernah Reyvan cicipi. Cukup tiga suap, kesimpulan itu berhasil ia buat.

"Kamu engga makan?" Pertanyaan yang sengaja Reyvan lemparkan, alih-alih ingin mencandai sang istri, wanita dengan mata monolid itu justru semakin mengernyit tertahan, menagih jawaban.

Melihatnya, tawa Reyvan mengudara, lantas sesendok suapan ia dekatkan. "Cobain,"

Ragu, Yasha menerima suapan itu. Mencicipi kembali masakan yang ia buat. Khawatir setelah berpindah ke piring bulat, rasanya tiba-tiba berubah tak sedap. Suapan cumi berpadu nasi dengan beberapa bumbu penyedap itu terasa lezat di indera pengecap.

"Ini masakan paling enak yang pernah aku makan,"

Dan, kalimat yang terlontar dari Reyvan barusan membuat semburat merah di kedua pipinya yang menggembil. Satu pekan pernikahan berdampak pada timbangan badan yang bergeser satu angka ke kanan. Wajah polos tanpa goresan make up tak lagi terlihat pias. Cerah walau tanpa skin care berlebih yang terpoles di paras. Blash on alami dari sang suami cukup menambah binar cantik yang selaras.

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang