PART 29

48 2 0
                                    

Yasha Almira. Wanita cantik dengan mata monolid itu tak henti-hentinya mematut senyum bahagia. Kerjapan mata ia perlambat, tak ingin sedetikpun kehilangan pemandangan paling unik di hadapannya. Kunang-kunang nan cantik terbang kian kemari, mengelilingi kepalanya yang terpasang mahkota amat indah. Ia mengejar, kunang-kunang itu seakan mengajaknya bermain. Menelusuri taman dengan sungai-sungai bening yang mengalir tenang. Beberapa pepohonan berbuah terlihat menggiurkan di sana. Sejuk, tidak dingin juga tidak panas.

Tak mengenal lelah, Yasha terus mengejar. Bersenandung riang, menikmati cahaya cantik yang terpancar dari spesies penggoda itu. Tidak peduli pada sekitaran yang menampilkan pemandangan lebih indah. Buah-buahan yang dapat dipetik dengan mudah. Gemercik air terjun bening yang menyegarkan. Perhatiannya Yasha hanya tertuju pada kunang-kunang itu, mengikuti kemana saja cahaya itu berlari. Tanpa sadar, dirinya lupa, kemana arah yang di tuju. Cahaya itu menyihir dirinya. Tatapan Yasha tak luput memandang ke atas, hingga lupa pada jalan yang di bawah. Dan akhirnya...

Bugh...

Yasha meringis, ia terjerembab dalam lubang suram, mahkotanya terlepas. Lututnya terluka, namun ia tidak peduli. Ia terus mencari sisa-sisa cahaya itu. Bangkit lagi, terjerembab lagi. Bangkit lagi, terluka lagi. Hingga ke tiga kali lubang itu ia temui, ia tak mampu bangkit lagi. Cahaya itu berputar-putar, seolah menertawai. Lalu satu persatu nyata meninggalkan dirinya.

Dalam remang, berulang kali namanya dipanggil seseorang. Yasha menoleh, mencari kesana kemari, tapi hanya gelap yang ia lihat. Yasha menangis, di sini, selain Allah, tidak ada yang bisa ia mintai bantuan. Ia sadar ia telah lalai, mengejar kunang-kunang indah tanpa tahu arah mana yang tengah dituju. Kunang-kunang itu menghilang, sempurna meninggalkan kegelapan.

Menyesali kelalaiannya, Yasha memohon ampunan. Meminta diberi kesempatan sekali lagi. Meminta petunjuk kemana ia harus pergi. Meminta pertolongan dengan segenap hati. Kala penyesalan kian mendalam, suara itu terdengar semakin dekat. Yasha ingin berteriak, mengatakan bahwa ia di sini, di lubang kegelapan. Tapi tenggorokannnya seakan tercekat. Ia hanya bisa merintih pelan, berteriak dalam diam.

Dua pekan sudah Yasha tak sadarkan diri. Reyvan dengan sabar menunggu. Berbagi cerita walau tak ada sahutan dari wanitanya. Reyvan tak pernah pulang, perhatiannya tak luput dari kondisi sang istri. Segala pekerjaan kantor sementara ia serahkan pada sekretarisnya. Berbagai meeting ia pending, walau harus sesekali ke kantor untuk hal-hal urgent. Reyvan akan tetap di sini, menunggu sampai Yasha membuka mata.

"Betah banget sih tidurnya, sayang. Kamu mimpi apa di sana?"

Reyvan tahu pertanyaan itu tak lagi menemui jawab. Tapi hanya ini yang bisa ia lakukan, walau tak ada jawaban, Reyvan berharap wanitanya akan tetap mendengar. Reyvan ingin wanitanya tahu bahwa ia ada di sini, menungguinya berhari-hari. Reyvan ingin begitu Yasha membuka mata, ia adalah orang pertama yang Yasha lihat.

"Pasti mimpinya indah banget ya, sampe engga bangun-bangun."

Layaknya pertanyaan retoris tersebab tak menginginkan jawab. Reyvan hanya ingin melihat mata indah itu terbuka. Menatapnya manja seperti yang sudah-sudah. Diraihnya tangan Yasha, meletakkan di wajah, mencium tangan itu berulang kali.

"Aku kangen kamu, sayang,"

"Aku kangen senyuman kamu,"

"Aku kangen becanda sama kamu,"

Hampir setiap hari kalimat itu di ulang Reyvan. Tak akan pernah ada kata bosan. Sampai Yasha bangun pun Reyvan berjanji akan mengucapkannya setiap hari. Ia tidak akan pernah lupa untuk selalu rindu pada wanitanya.

"Bangun ya, please..."

"Katanya kamu sayang aku?"

Satu tetes cairan bening dari mata Reyvan mengalir di lengan Yasha. Meluncur perlahan-lahan membasahi kulit wanita itu. Jika sebelum-sebelumnya Reyvan akan menghapus air bening itu, tak ingin wanitanya tahu bahwa ia menangis, tapi kali ini Reyvan membiarkan air bening itu membasahi bagian tubuh Yasha, mengirim tremor rindu dari sana. Reyvan ingin wanitanya tahu, ia menangis bukan karena sedih, tapi karena ia amat rindu.

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang