PART 27

33 2 0
                                    

Derap langkah itu mengayun cukup cepat. Koridor rumah sakit disapunya dengan tubuh gemetar. Laju jantung seakan berhenti berdetak. Reyvan Aditya, lelaki bermanik coklat yang Yasha puja itu tengah digulung kecemasan. Tak peduli pada beberapa orang yang berseru kesal karena tak sengaja ditubruknya. Satu jam yang lalu setelah menerima telepon yang mengabari keadaan orang tersayang, tanpa pikir panjang Reyvan segera menuju tempat tujuan. Bahkan laptop kerjanya tak sempat ia matikan. Tidak peduli pada file-file yang bisa saja hilang, tidak peduli pada pekerjaan yang tengah menumpuk. Tergesa-gesa ia menyalakan mesin mobil dan menembus jalur tikus. Walau terbilang jauh, terjebak kemacetan justru akan lebih memakan waktu.

"Kak Rey?" Suara itu mengalun bertepatan dengan langkah Reyvan yang sempurna menjejak tempat tujuan. Melirik sejenak tanpa jawab, Reyvan memutar handle pintu. Melangkah dengan gontai menuju tempat pembaringan wanita terkasihnya. Reyvan seakan berhenti bernapas, wanita yang akhir-akhir ini sering membuatnya kesal tengah memejam di sana. Reyvan menggeser kursi, mendekat pada tubuh yang terbaring lemah dengan selang infus yang lagi-lagi menancap di lengannya. Beberapa bagian tubuh yang terluka dan kepala yang diperban itu membuat jantung Reyvan berdetak nyeri.

"Maafin aku," Reyvan meraih tangan kurus itu. Baru ia sadari tangan putih itu kembali kurus. Padahal, baru beberapa pekan yang lalu wanita itu dengan riang menginformasi bahwa berat tubuhnya meningkat drastis. Netra coklat yang Yasha puja itu berkolam, memandangi wajah yang lagi-lagi pucat mendominasi parasnya yang indah. Reyvan mengecup lembut mata yang terpejam itu, berharap ia akan segera terbuka.

"Sayang, bangun ya," tidak ada waktu yang Reyvan gunakan selain menyesali keadaan. Ia kembali menangis karena wanita itu, kenapa ia tidak menerima permintaan maaf dari wanitanya? Kenapa ia membiarkan wanitanya begitu lama meratapi kesalahan? Kenapa ia bisa dengan tega melihat wanitanya berlinang air mata?

"Aku janji engga akan marah lagi sama kamu. Aku janji engga akan diemin kamu lagi. Kamu boleh lakuin apapun yang kamu mau. Kamu engga perlu minta maaf sama aku."

Tidak ada jawaban. Mata itu tetap terpejam. Hanya bunyi tarikan-tarikan napas berat Reyvan yang berlomba dengan suara elektrokardiograf di samping ranjang.

"Kak Rey..." Reyvan menyeka air matanya, ia menatap nanar seseorang yang berdiri di ambang pintu. Seseorang yang amat ia kenali.

"Gue mau bicara sama lo, kak,"

***

"Lima ratus juta, gue bantu lo,"

Yasha menarik napas kasar. Lelaki di depannya ini begitu licik. Rio yang sekarang, bukan lagi Rio yang ia kenal dulu. Lelaki itu walaupun perokok aktif, namun prestasinya tak jauh menganggumkan dari Reyvan. Jika Reyvan pernah menjuarai olimpiade matematika, maka Rio pernah menjuarai olimpiade fisika. Jika Reyvan pernah menjadi ketua BEM kampus, maka Rio pernah menjadi pengurus MAPALA. Bahkan mereka sama-sama tak pernah mempermainkan perempuan. Perbedaan yang tidak begitu signifikan bukan? Tapi Rio yang Yasha kenal sekarang, bukan lagi Rio si bintang prestasi, bukan lagi Rio si penghibur hati yang dulu. Yang dengan guyonan-guyonan recehnya selalu mampu membuat Yasha tertawa lepas.

"Seratus juta gimana?"

Ah, negosiasi macam apa ini? Kepala Yasha makin nyeri. Seratus juta pun masih terbilang besar untuk Yasha. Kartu debit yang Reyvan beri tak berani ia gunakan untuk keperluan absurd seperti ini. Tapi ia masih punya beberapa tabungan pribadi, mungkin kurangnya bisa ia pinjam dari papanya. Soal alasan, bisa ia pikirkan ke depan.

Rio nampak berpikir. Sedang tipis harapan adalah milik Yasha. Wanita itu terus berdoa agar lelaki bertubuh atletis di depannya itu mau membantu sedikit saja. Memangkas anggapan-anggapan buruk suaminya, tentang perasaannya pada Ayyas.

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang