PART 6

33 4 2
                                    


Iman itu ibarat cinta yang butuh kepastian akan pembuktian, bukan sekedar janji harapan. Jika cinta dibuktikan dengan pernikahan, maka iman dibuktikan dengan ketaatan.

***

Gadis berjilbab biru muda terduduk pasrah di bangku taman yang menghadap danau. Ia memilin ujung jilbabnya, jantungnya berdegup kencang. Rasa takut hadir menguasai dirinya. Tatapan nyalang dari seseorang yang berdiri di sampingnya membuat nyalinya semakin menciut.

Bagaimana tidak, sepagi ini ia sudah dikejutkan oleh seseorang yang menarik kasar lengannya dan menyeretnya ke taman ini. Sesuatu yang setahunya tidak pernah dilakukan oleh seseorang yang kini tengah menatapnya tajam.

Segala pikiran tentang pekerjaannya hilang, ia sudah tidak peduli dengan amarah bosnya nanti. Yang terpenting sekarang ia harus menghadapi dulu seseorang yang tengah dikuasai emosi itu. Pemandangan danau yang indah dan menenangkan pagi ini sepertinya sama sekali tidak berpengaruh di hatinya.

"Gue butuh penjelasan lo." lagi, kalimat lo gue yang baru kali ini ia dengar dari mulut lelaki di sampingnya.

"Penjelasan apa lagi Yas?" Ya, dia Ayyas. Sang mantan pujaan hati gadis bermata monolid tu.

"Kenapa lo lebih milih laki-laki itu daripada gue?" Kini pandangan Ayyas beralih pada danau didepannya.

Yasha memilih bungkam. Bukan tak punya jawaban. Tapi ia khawatir jawabannya akan semakin membuat Ayyas geram. Ia mengerti, Ayyas telah mencari tahu tentang sosok calon suaminya.

"Kenapa diam?" Tanya Ayyas ketus.

Yasha mendongak sejenak kemudian menundukkan lagi kepalanya ketika tatapan nyalang itu kembali mengarah pada dirinya.

Yasha merapatkan bibirnya kuat, berusaha menahan perih di matanya dan juga hatinya, mendapati lelaki yang pernah dipujanya itu berubah sembilan puluh derajat. Selama bersamanya, ia tak pernah mendapati Ayyas bersikap kasar apalagi membentak dirinya.

"Jawab Sha!" ucap Ayyas dengan suara tinggi. Yasha menghela nafasnya, ia sedang susah payah menahan kristal bening yang hampir keluar dari netranya, gadis pujaan Ayyas itu hampir menangis.

Keputusan Ayyas telah bulat. Ia benar-benar menemui Yasha meminta penjelasan. Ia masih tak terima Yasha lebih memilih lelaki lain dibanding dirinya yang sudah bertahun-tahun menemani hari-hari Yasha.

Ayyas sudah berusaha ikhlas, namun ia tak bisa. Sebuah kenyataan pahit itu perlahan-lahan membuat emosinya memuncak.

Yasha berdiri, hendak melangkah meninggalkan tempat itu. Ia muak mendengar bentakan Ayyas.

Namun cengkeraman tangan Ayyas di lengannya lebih dulu menghentikan langkahnya. Yasha menghirup udara pagi itu sebanyak-banyaknya, berharap kristal bening itu tak menampakkan wujud di pipinya.

"Jelasin Sha, kenapa kamu lebih milih dia daripada aku?" Ayyas memelankan suaranya. Ia berusaha meredam emosinya. Ia harus menyelesaikan masalahnya baik-baik.

"Engga ada alasan yang harus aku jelasin sama kamu Yas." susah payah Yasha mengeluarkan kalimat jawaban itu.

"Engga bisakah kamu nunggu aku sebentar lagi Sha? sebentar lagi." Ayyas menegaskan suaranya di ujung kalimatnya.

Yasha menggeleng. Penantian, meski singkat, tak pernah bisa memberi perasaan nyaman. Ia lelah menunggu.

"Udah cukup aku nunggu kamu Yas. Percuma, aku ngerasa buang-buang waktu. Aku ngerasa seperti orang bodoh yang diperbudak sama dosa, nunggu seseorang yang entah kapan bisa menepati janjinya."
Mendengar jawaban itu, Ayyas menguatkan cengkeramannya pada lengan Yasha, membuat gadis itu kembali meringis menahan sakit.

"Ayyas, sakit." ucap Yasha memelas. Satu butiran hangat berhasil keluar dari netranya.
Ayyas tidak mempedulikan rintihan Yasha. Jawaban Yasha membuat dirinya kembali dikuasai emosi.

"Gue tau, karena Rey lebih segalanya dari gue kan? Dia kaya, berprestasi, dan..."

"Cukup." Bentakan dari Yasha berhasil membuat Ayyas terdiam.

Butiran-butiran bening selanjutnya sudah berhasil membanjiri wajah Yasha. Rasa sakit di lengannya ia abaikan, berganti rasa sakit yang mendalam di hatinya.

"Sehina itu aku dimata kamu Yas. Menilai seseorang karena dunianya. Cinta itu butuh kepastian sebuah ikatan, bukan hubungan yang melanggar aturan Tuhan." Ucap Yasha tegas. Ia kembali berusaha melepaskan cengkeraman Ayyas.

"Elo...munafik Sha" ucap Ayyas tajam sebelum membiarkan Yasha melepaskan cengkeramannya. Satu kalimat yang berhasil membuat Yasha terhenyak.

"Lo lupa, lo dulu siapa? Lo cuma gadis yang engga ada bedanya sama cewek-cewek di club sana. Sekarang lo malah ngomong soal agama. Ck...MUNAFIK"

Yasha memejamkan matanya. Kalimat Ayyas begitu menorehkan luka yang mendalam di hatinya. Ia memang sempat melewati batas dalam bergaul, namun bukan berarti ia tidak bisa menjaga harga dirinya. Dan saat ini, salahkah ia jika ingin memperbaiki kesalahannya?.

Ayyas kembali meraih lengan Yasha yang hendak berbalik.
"Jangan harap pernikahanmu lancar Sha."
Ucapnya tajam.

Yasha menepis tangan Ayyas. Kristal bening kembali membasahi wajah putih gadis itu. Ia tak menyangka Ayyas sebegitu tega mengeluarkan kalimat menyakitkan itu, hingga berani mengancamnya.

Yasha berlari tak tentu arah. Langkahnya terhenti ketika pusing di kepalanya semakin menjadi. Pandangannya berubah gelap. Ia oleng, tubuhnya hampir menyentuh tanah andai sedetik saja sebuah lengan kekar terlambat menopang tubuhnya.

"Maaf" ucap seseorang itu sebelum ia membawa Yasha pergi meninggalkan taman.

_bersambung_

Hayooo...siapa nih yang nolongin Yasha?. Ayyas kah?. Atau...🤔

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang