PART 20

26 3 0
                                    

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'd: 11)

***

"Bahkan sampai saat ini dia sama sekali tak pernah menyentuhku."

Kalimat itu berputar ribuan kali di kepala Yasha. Begitu ia merasa bersalah pada Ayu. Seharusnya ia tidak mengenal Ayyas. Harusnya ia bisa mempertahankan resistensinya ketika memutuskan untuk meninggalkan lelaki itu. Harusnya ia tidak memberi kesempatan pada Ayyas. Harusnya ia bisa konsisten dengan satu nama di hatinya sebelum Ayyas, bukan malah mencoba mengganti nama itu dengan nama Ayyas, yang pada dasarnya ia tidak pernah bisa. Ia tidak pernah mengerti, apakah pantas perasaannya pada Ayyas di sebut cinta? Atau hanya karena obsesi lelaki itu Yasha menaruh iba?

Yasha pikir, dengan saling meninggalkan, saling melupa, dan saling mengubur rapat-rapat kenangan itu, semuanya sudah selesai. Mereka sudah sama-sama menikah, menjalin kehidupan baru. Tidak ada lagi kenangan yang harus di ungkap. Tapi Yasha lupa satu hal, perihal meninggalkan, melupa, mengubur kenangan hanya berlaku untuk dirinya, tidak untuk Ayyas. Lelaki itu terlalu mencinta. Nama Yasha sudah terlampau kuat terpahat di hatinya, tidak mudah terhapus hanya dengan kehadiran wanita lain, walau berada dalam lingkup pernikahan. Ayyas masih menaruh harap, Yasha akan menjadi miliknya suatu saat nanti. Ia tidak akan pernah menggantikan posisi Yasha dengan siapapun, termasuk istrinya sendiri. Yasha tak pernah memprediksi, kesalahan masa lalunya berbuntut pada masa depannya. Menghantui detik-detik hidupnya dengan rasa bersalah. Satu kesalahan yang ia buat telah menciptakan seribu kesakitan lainnya.

Yasha berdiri di balkon kamar, bola matanya merambati air bening di bawah sana. Pantulan remang rembulan menyoroti kolam renang yang terlihat kebiruan. Isyarat hati yang gemuruh ia pamerkan dari sorot kosong matanya.

Aroma levender menguar dari lilin yang dinyalakan Reyvan. Wanginya menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Menawarkan rileksasi pada stress yang melanda pikiran.
Lepas menyalakan lilin beraroma itu, Reyvan menghampiri Yasha di sisi balkon.
"Sayang..." Sapanya.

Yasha bergeming, tidak menyadari kehadiran suaminya. Wanita itu terlalu dalam memasuki alam pikirannya. Merutuki diri sendiri, membodohi diri sendiri.

Pemandangan itu menjentik otak Reyvan untuk berpikir. Sepulang kantor beberapa jam yang lalu, Reyvan menemukan mode asing pada diri istrinya. Yasha yang senantiasa ceria menyambut kepulangannya, berceloteh tentang aktifitas seharian, sekarang terlihat lebih banyak diam. Bahkan ia hampir memecahkan piring di dapur, terkejut hanya karena Reyvan membuntutinya. Ada apa dengan Yasha hari ini?

"Hei..." Di sentuhnya pundak Yasha. Wanita itu terkejut, memandang Reyvan dengan pandangan bingung yang tercetak, "Kenapa?"

Untuk beberapa saat Yasha masih memandangnya, sangsi. Lalu hanya gelengan yang Reyvan terima.

"Masuk yuk. Lama-lama kena angin malam engga bagus buat kesehatan,"

Gelengan lagi.

"Ya udah, aku temenin kamu di sini ya,"

Wanita itu kembali membidik kolam di bawah sana, bergeming, tidak menjawab sepatah kata pun. Reyvan menarik napas, mencoba mengumpulkan pasokan sabar.

"Sayang, cerita dong, tadi siang ngapain aja sama papa?" Masih tak menyerah, Reyvan mencari topik pembicaraan.

"Belanja," Singkat. Yasha masih betah menekuri diamnya.

"Terus ngapain lagi?"

"Ngobrol,"

"Ngobrol apa?" Pandangan Yasha sempurna beralih pada Reyvan. Lelakinya itu selalu punya cara untuk membuatnya menyerah pada pendirian.

"Papa minta aku buat pindah ke kantornya,"

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang