PART 21

25 3 0
                                    

Jangan biarkan cintamu menjadi keterikatan atau kebencianmu menjadi kehancuran. (Umar bin Khattab)

***

Matahari pagi tak lagi bersembunyi. Cahayanya tak ragu menerobos ke seluruh penjuru bumi. Reza melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jam digital pada MID mobil menunjukan angka 7:05. Akhir pekan ini lalu lalang kendaraan terbilang tidak begitu padat seperti biasanya. Hanya sesekali Reza mendecik sebal tersebab mendengar bunyi klakson kendaraan yang enggan mengalah ketika ada yang menyalip.

Di samping Reza, Yasha sibuk dengan ponselnya. Kedua ibu jarinya tak bosan mengetikkan sesuatu di atas layar. Sesekali bibirnya membingkai sebuah senyum. Semalaman Reza menginap di rumah Reyvan. Adik iparnya itu rewel memintanya menjaga Yasha karena harus keluar kota. Mengecek pembangunan perusahaan barunya.

"Kenapa kamu engga nginep di rumah papa aja sih, Sha?" Reza bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depan.

"Nanggung kak, lagian mas Rey cuma tiga hari di luar kota," Yasha menjawab tanpa beralih dari ponselnya.

Mobil terhenti saat lampu merah. Perhatian Reza teralih pada adiknya yang masih sibuk dengan ponsel. "Chatingan sama Rey?" Tanyanya.

"Iya,"

"Serius banget,"

Yasha meringis. Menoleh sekilas pada kakaknya.

"Dia engga sibuk?"

"Belum, baru meeting jam sembilan nanti,"

Reyvan menanggapi dengan mulutnya yang membentuk huruf 'O'. Netranya teralih sebentar pada sebuah motor bebek yang berhenti di samping mobilnya. Aksi salip menyalip seperti sudah menjadi kebiasaan setiap pengendara.

"Sha,"

"Mmm..."

"Gue boleh tanya sesuatu, mungkin agak pribadi," sebuah tanya tiba-tiba melintas di pikiran Reza.

"Boleh," Seiring jawaban santai Yasha, Reza kembali menginjak gas setelah lampu lalu lintas berganti.

"Gue pengen tahu, sejak kapan sih lo tahu tentang ibu kandung kita?"

Yasha terkesiap. Ibu jarinya menekan tombol back pada layar. Membiarkan ponsel tergeletak di atas pangkuan, ia melempar pandangan pada kaca jendela di sampingnya. Bola matanya merayapi beberapa kendaraan yang melintas.

"Papa itu engga adil. Kak Reza apa-apa dituruti. Tapi aku engga." Protes ringan yang pernah ia lontarkan itu terngiang di telinga. Hampir dua setengah tahun yang lalu. Tepat saat kelulusannya ia meminang izin pada papanya untuk menempati villa keluarga di puncak. Melepas penat dari segala aktifitas pekerjaan dan kuliah yang seringkali menyita waktu. Ia butuh berlibur sebentar saja, sayangnya sang papa menolak pinangan izinnya, tanpa alasan.

Yasha sebenarnya anak yang cerdas. Tumpukan pekerjaan kantor yang seringkali menyita waktu kuliah tidak menyurutkan langkahnya untuk meraih IPK nyaris sempurna. 3,99. Selempang bertuliskan 'cumlaude' tersemat apik di tubuhnya. Seluruh pasang mata menatap iri pada Yasha ketika ia melangkah menuju podium untuk menerima berbagai penghargaan.
Namun berbeda dengan papanya, sepotong kalimat rasa bangga tak pernah keluar dari mulut pria itu.

"BERANI YA KAMU." bentakan itu bersamaan dengan tangan yang terangkat dan hampir melayang ke pipi Yasha. Beruntung, tangan yang hampir mendarat di pipi mungil itu di tepis Yunita.

"Mas...berhenti!"

Ramdan menoleh dengan raut murka.

"Sampai kapan kamu begini terus. Yasha itu anakmu,"

Berpijak di Atas CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang