Embun berkilauan tertimpa cahaya pagi, dedaunan bergoyang pelan disapa angin dingin sekali, seorang perempuan menatap kosong entah ke mana.
Jejak air mata perlahan turun dan dihapusnya lagi. Ada sesak yang tidak bisa ia definisikan. Seolah hatinya membesar siap meledak sehingga kesusahan dia mengatur nafas.
Pintu kamarnya ada yang mengetuk.
“Arunika, kenapa kamu belum bergabung dengan kami untuk sarapan?” Teriak sang ibu.
“Iya Uma, sebentar lagi Arunika keluar.”
“Cepetan ya nak, Babamu ada jadwal mengajar pagi ini.”
Arunika mengangguk sendiri walaupun ibunya tidak melihat. Dia membasuh wajahnya lagi, baru keluar menuju ruang makan di mana sudah disediakan sarapan.
Hakan Karim sudah rapi dengan jas yang melekat ditubuhnya. Lelaki Turki ini memang selalu tampan diusianya yang tak lagi muda.
“Kamu tidak apa-apa nak?” Tanya Hakan.
Mereka memang terbiasa berbicara dengan bahasa Turki jika dirumah walaupun Arunika sangat fasih dengan bahasa ibunya yakni bahasa Indonesia. Ayahnya pun sama sangat lancar.
Arunika hanya menggeleng, dia memang seperti anak tunggal karena semua kakaknya sudah menikah dan hidup dengan baik di luar sana. Hakan melirik anaknya lalu kembali fokus dengan makanannya.
“Sepulang mengajar, Baba ada yang ingin dibicarakan denganmu. (1)Ayna, ilk ben giderim.” Ujarnya yang langsung berdiri.
Ayna Azkarya ibunya Arunika mengantar suaminya sampai depan pintu rumah dengan pelukan dan kecupan hangat beserta kata-kata manis menunggu suaminya kembali.
“(2)Kendine iyi bak.” Teriak ibunya.
Arunika menghela, rasanya setelah Mirza menikah hidupnya terasa begitu hampa, tapi tidak ada yang tahu kegundahan hatinya ini. Ibunya kembali bergabung dengan dirinya.
“Ma, aku sudah kenyang. Bolehkah aku kembali? Tubuhku masih butuh istirahat setelah perjalanan panjang dari Amerika.”
“Ya, kembalilah ke kamarmu.”
Arunika dengan lunglai masuk ke kamarnya, Ibunya memerhatikan tingkah anaknya, hanya menggeleng pelan.
Setibanya dikamar Arunika mengunci kembali pintu kamarnya, terlentang di atas ranjang. Membuka handponenya dan melihat social media.
Tangannya men-scroll layar ke bawah melihat postingan-postingan orang yang dia ikuti. Tidak ada postingan Mirza kali ini, mungkin dia sedang sibuk dengan kehidupan barunya.
Matanya terhenti saat melihat akun jejaak_potret satu akun yang sudah lama dia ikuti karena kemarin dia ke Amerika pun karena ingin tahu siapa sosok lelaki yang banyak digandrungi para muslimah ini.
Seperti biasa bangunan masjid yang dirinya abadikan. Iseng, Arunika pun membuka kolom komentar, membacanya dan hanya mendengus sendiri. Dia menutup kembali akun media sosialnya. Termenung, tidak berapa lama menangis begitu perih.
Dia selalu ingin menjadi perempuan tegar yang bisa bangun sekejap saat harapan dilemparkan begitu saja.
Tapi, itu ternyata sangat sulit, di mana hati seorang perempuan gampang nyaman terhadap perhatian lalu menjatuhkan hati sebagai pilihan.Hari itu Arunika hanya sedang ingin bersedu sedan sebelum Babanya kembali dari mengajar.
Saat dirasa dirinya lega, dia mengambil wudhu, duduk dibalkon kamarnya yang menghadap taman yang selalu diurusi dengan baik oleh ibunya.Arunika bertilawah. Rasanya memang ini pilihan saat hatinya begitu gundah.
Setelah Ayahnya datang, Arunika sudah dalam keadaan baik.Setelah makan malam Hakan mengajak putrinya ngobrol serius. Arunika tidak diizinkan bekerja, Kakak-kakaknya ikut menanggung apapun yang dia butuhkan karena katanya perempuan Turki adalah tanggung jawab keluarganya sebelum dia menikah walaupun sebetulnya masih banyak perempuan yang memilih mandiri juga di luaran sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
LAKUNA
Espiritual(COMPLETED) COVER NOVEL : Dede Yogi Darsita Lakuna diartikan sebagai kekosongan dalam dua sisi jiwa yang mencari muara untuk saling menyempurnakan kekurangan yang ada. Kepingan Puzzle yang belum sempurna. Semesta menjadi saksi para hati yang saling...