LARA

4.7K 594 140
                                    

Suatu kisah di masa silam membuat cerminan bagi siapa pun yang mengalaminya, bahwasannya manusia dibingkai hawa nafsu dengan di kelilingi setan musuh yang nyata. Jika tidak karena perlindungan Allah, jatuh sudah Fahim dalam lumbung dosa.

Matanya merah pagi ini, kemelut diwajahnya terbaca oleh Abinya. Fahim belum mengetahui video yang beredar di luaran sana, fokusnya terasa hilang begitu saja. Pikiran dan hatinya sama sakitnya.

Hima sudah sehat kembali, dilihat dia sudah membantu bundanya menyiapkan sarapan.

“Kak, Wajahnya kok pucat begitu. Tidur yang cukup tidak semalam?” Tanya Hima menatap wajah kakaknya penuh khawatir.

Ihsan, tetap diam sampai Fahim selesai menyantap sarapannya.

“Selesai sarapan, Abi tunggu diruangan kerja Abi.” Ujar Ihsan.

Fahim mengangguk, menatap nasi goreng dengan tidak berselera, pikirannya ditarik begitu kuat harus seperti apa dia memberitahukan ke dua orangtuanya.

Selepas menyelesaikan sarapannya, dirinya pun menuruti perintah Abinya.

Ihsan sudah duduk dikursinya, Fahim rikuh, menunduk ke lantai ruang kerja abinya.

“Apa yang kamu sembunyikan dari Abi?” Tanyanya.

Fahim, menunduk. Tidak ada suara yang mampu keluar dari lisannya. Rasanya dirinya diserang rasa malu yang begitu hebat. Tak sanggup dia menegakkan wajah kepada lelaki yang sangat dirinya hormati dan sayangi itu.

Ihsan berdiri, mendekati putranya. Menepuk ke dua bahunya.

“Abi, butuh wajahmu. Bukan tundukan dalam kepalamu. Lihat Abi, Nak.”

Fahim menegakkan wajahnya yang semerawut.

“Ceritakan. Ada apa?” Tanya Ihsan.

Fahim awalnya kelu saat mengawali cerita, tapi dari sana dia mulai lancar menceritakan apa yang terjadi semalam kepada dirinya. Ihsan menutup matanya, terasa kelebatan masalah masa lampaunya pun menghantamnya.

Di mana dahulu, isterinya yang dijerat fitnah lalu dirinya melindunginya sekuat dirinya bisa. Tapi, kali ini semua itu berbalik. Putranya yang terjerat fitnah itu sendiri dengan seorang perempuan membantunya.

“Fahim, minta maaf Abi. Bahkan untuk melindungi diri Fahim sendiri pun. Fahim tidak bisa.”

Setelah mendengar cerita putranya, Ihsan keluar terlebih dahulu dari dalam ruangan. Meninggalkan Fahim dengan kekalutannya sendirian, lalu Hima yang perasaannya selalu tak tenang pun menghampiri abangnya menanyakan ada apa.

Mata yang selalu jernih itu terlihat payah, Hima pun merasakan ada beban yang menjadi beban pikiran saudara kembarnya. Hima hanya memeluknya, menepuk bahu Fahim semampunya.

Ihsan, bergegeas menuju Masjid, menaiki lantai tiga dengan Parjo tergopoh-gopoh mengikutinya.

“Ustadz, apa ada masalah?” Tanya Parjo karena melihat Ihsan begitu tergesa.

Ihsan membuka pintu lantai tiga, melihat sekeliling, di mana di sini pernah jadi kenangan dirinya beserta isterinya saat dahulu.

“Mang, Angkut semua kitab dan buku di sini. Pindahkan ke perpustakaan pesantren. Lantai atas tiga Masjid ini, pergunakan untuk kegiatan santri setelah ini.” Ujarnya.

Lantai tiga Masjid ini memang selalu sepi, Ihsan merasa ikut bertanggung jawab karena ternyata tempat ini bisa menjadi fitnah untuk putranya. Mungkin, ini teguran juga kepadanya yang lalai dalam melaksanakan amanahnya sebagai pimpinan pesantren.

“Mang, sebelum itu tolong panggilkan perempuan yang bernama Aruni, Untuk datang ke kediaman Sidiq.”

“Aruni perempuan Turki itu ustadz?” Tanya Parjo.

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang