SELAKSA RASA

4.5K 531 37
                                    

Terikat, mengikat dalam ikatan.
Gaduh dalam dada meluapkan keingintahuan
Logika berseberangan dengan hati yang berdebar tak karuan
Terkukung rasa yang lebih dahulu dipersilahkan masuk penuh kesopanan.

Jam makan siang, Fahim dan Ghadi melajukan motornya menuju dapur pesantren karena terlalu jauh untuk ngotot berjalan kaki menuju ke sana. Di sana Bu Rodiah menyambutnya dengan senyuman.

Saksi hidup kisah cinta melegenda di pesantren ini antara pekerja dapur dengan pimpinan muda pesantren. Saat itu, Senyuman baru pun menulari wajah lelaki sholeh itu, dibuat resah oleh sebuah pilihan dengan akhirnya hatinya memilih arah yang melegakan.

“Assalamualaikum Bu.”

“Wa’alaikumsalam mas, Bundamu sudah telpon. Katanya titip putranya jika makan.”

“Bunda memang selalu tahu.”

“Mari masuk mas, Semua pekerja Dapur sedang dikantin santri dan santriwati saat ini. Mumpung belum datang, Nanti mereka pada gak fokus kerjanya kalau mas ada di sini.”

Fahim terkekeh, dia duduk dibangku panjang di mana dulu bundanya sering mengupas kentang di sini, membereskan panci – panci besar dan lain sebagainya.

Di sana sudah terhidang Ikan goreng, Sambel ulek dengan tumis kangkung. Fahim, langsung mengucap basmalah dengan diikuti Ghadi.

“Kesukaan makanan Mas Fahim, sederhana sekali. Bagaimana bisa lidah ini pergi keliling dunia. Bagaimana makannya.” Ujar Bu Rodiah.

“Syukuri saja bu, walaupun tidak cocok dengan lidah kita tapi makanan itu ada sebagian orang yang ingin menikmatinya.”

“Masya Allah. Ya sudah. Ibu tinggal ya.” Bu Rodiah keluar Dapur. Mengintruksikan pekerja dapur untuk makan siang sekalian dikantin santri saja.

Pekerja kantin yang sebagian pun ada yang masih single pada bertanya kenapa mereka tidak bisa makan didapur seperti biasanya.

“Ada, Mas Fahim. Beliau sedang makan siang di sana.” Jelas Bu Rodiah.

“Ya, kenapa kita tidaj gabung makan sekalian saja bu.”

“Tidak boleh, Ibu tidak ridho mata kalian jadi jelalatan di sana.”

“Tapi, nanti piring bekas Mas Fahim biar aku saja yang cuci ya bu.”

“Terserahmu sajalah.” Ujar Bu Rodiah.

Ditambah dengan suara baru yang inisiatif mau mencuci piring bekas Fahim dengan senang hati. Bu Rodiah hanya ngedumel dalam hati andai saja mereka senang hati saat pekerjaan dapur sedang sibuk – sibuknya saat jam makan tanpa keluhan yang tak berarti. Lalu setelah itu bu Rodiah bersitigfar. Tidak baik ngedumel seperti itu.

Didapur Fahim makan dengan nikmat bersama Ghadi. Setelah selesai dia membereskannya.

“Sini Ghad, Biar sekalian piringnya mas cuci.”

“Loh, boleh deh mas. Hehehe.”

Ghadi duduk ngantuk dikursi karena perutnya sudah kenyang pasti matanya berkunang – kunang. Fahim melipat lengan bajunya sampai siku membawa dua piring kotor itu untuk dicuci. Ghadi yang terkantuk – kantuk menunggu.

“Ghad, ayoo. Sudah.” Ujar Fahim sambil ngeloyor keluar.

“Aku ngantuk ini mas.”

“Makananmu butuh dicerna dahulu. Jalan gih sampai depan. Nanti baru tidur.”

“Tidak lah mas, Dzalim mas kalau gitu.”

Fahim hanya menggeleng saja, Bu Rodiah dan pekerja lainnya mulai berdatangan.

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang