NURAGA

4.4K 546 54
                                    

Pagi yang terasa menyejukan hati, saat lingkungan tempat kita berdiam diri selalu mengingat ilahi. Kicau burung menambah harmoni bahwasannya mereka pun bertasbih dengan cara yang mereka mampu lakukan saban hari. 

Udara yang terasa berbeda menyapa dada Aruni, dirumah neneknya yang jarang sekali ia kunjungi. Dirinya membuka jendela kamarnya  menghadap halaman depan yang ditumbuhi bunga dan pepohonan rindang.

“Mau temani nenek ke pasar Aruni?” Tanya neneknya masuk ke kamarnya.

Aruni mengangguk saja. Neneknya tidak menyetir sendiri melainkan mengajak Aruni naik angkutan umum. Neneknya masih terlihat segar diusianya yang tidak lagi muda.

Apa memang seorang pekerja medis itu selalu terlihat muda? soalnya kakeknya pun demikian. Neneknya dahulu seorang perawat tapi memutuskan berhenti dan menjadi perawat pribadi untuk Dokter Imam yakni suaminya.

Deru kendaraan membuat hati Aruni gegap entah dikarenakan apa. Neneknya menggenggam tangan cucunya.

“Kamu terlihat senang?”

“Aruni seperti bebas nek.”

“Ibu mu itu malah menuntutmu untuk menikah, sedangkan dahulu saja nenek tidak demikian kepadanya. Kehidupan di Turki mempengaruhi pola pikirnya.”

“Karena wanita yang masih sendiri rentan terkena fitnah nek, maka salah satunya dengan menikahkannya.”

“Lalu kalau jodohnya belum bertemu ya mau bagaimana lagi.”

“Emmm, soal Aruni interview siang ini.”

“kenapa? Kamu tidak menyukainya?” Tanya Nenek terlihat khawatir.

Aruni menggeleng lalu tersenyum.

“Nenek memang suka bertindak keren seperti ini?”

“Keren bagaimana?”

“Tidak, hanya saja Aruni antusias saja.”

“Ya, nenek tahu kamu menyukai dunia itu. Tulis menulis.”

Aruni melihat ke arah luar jendela, lalu – lalang kendaraan, orang – orang yang berjalan ditrotoar, para pedagang. Ini dunia baru bagi Aruni lalu dia tak sabar untuk menjejaki langkahnya di sini.

Mereka turun dipasar, neneknya tak pernah melepaskan tangannya ditangan Aruni saat memberi ikan lalu daging.
Saat Aruni memperhatikan neneknya memilah – milah sayuran sambil mengobrol dengan pedagangnya. Mata Aruni kenapa tertuju atas satu sosok yang membuat desir dalam dadanya mengambil alih kembali.

“Kamu melihat apa Aruni? Ouh itu, orang – orang pesantren Sidiq, biasanya mereka membeli daging untuk persediaan dapur pesantren.” Jelas neneknya lalu kembali menuntunnya.

Aruni, rasanya ingin menghentikan langkah neneknya lalu berlari ke sana di mana lelaki itu terlihat sedang tersenyum kepada bapak pedagang daging, senyum yang selalu membuat dirinya tak mengerti. Dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi lelaki itu saat melihatnya lagi.

“Kita makan bubur dulu ya, sebelum pulang.” Ajak neneknya.

“Kakek nek?”

“Dia tidak suka makanan luar selain masakan nenekmu ini. Kalau kita kan Lumayan mengganjal perut sebelum sarapan selesai dibuat nanti.” Ujarnya.

Mereka pun duduk dikursi pelastik depan gerobak pedagang bubur.

“Ibu dokter bawa bidadari pagi ini ya.” Ujar mang Bubur.

“Dia cucu saya.”

“Yang dari Turki itu bu?”

“Iyaa, saya ajak ke sini untuk tahu kehidupan Indonesia.”

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang