MUDITA

4.4K 535 52
                                    

Tanya yang terasa menggantung dalam dekapan angin. Aruni terdiam tidak tahu harus mengatakan apa di saat seperti ini, dia hanya melihat gerak tidak nyaman dari seorang lelaki yang duduk di hadapannya. Seperti tercemin kesal dari lesatan pertanyaannya.

Lelaki yang selalu tersenyum begitu indahnya tapi kali ini wajahnya tertutup sebagian. Sorot matanya mana mampu Aruni menatap mata yang jernih itu.

“Maaf saya bertanya seperti itu, pasti membuatmu kaget.” Ujarnya.

“Saya hanya tidak paham kenapa ustadz bisa berpikiran ke arah sana.” Jawab Aruni.

“Saya pikir kamu ke sini berarti sudah tahu tentang semua apa yang terjadi.”

“Saya tahu, saya ke sini untuk meminta maaf atas tindakan sepupu saya semalam kepada Ustadz. Dia memang sedang dalam keadaan kacau akhir – akhir ini.”

“Sampai mengetahui saya? Dari mana dia tahu perihal saya?” Tanya Fahim lagi.

“Dari lisan saya, Maaf juga untuk hal itu.”

Fahim menyandarkan tubuhnya disandaran kursi, Aruni mencoba menyembunyikan segala sesuatunya semampu dia bisa. Ghadi tetap jadi pendengar baik diantara mereka.

Suara orang – orang yang mengisi pendengaran mereka sesaat ini lalu Fahim bersuara, berat sekali suaranya itu seperti ada tanggung jawab besar dalam pundaknya.

“Saya selalu tidak mengerti apa baiknya saya untuk para perempuan di luaran sana. Saya masih lelaki ganjil dalam hidup ini, tertatih dalam menjaga diri, tapi luapan kekaguman mereka kadang membuat saya terbebani.” Fahim menerawang jauh.

“Ungkapan kekaguman, proposal ta’aruf yang diberikan lalu mengajak menikah terang – terangan. Saya merasa berdosa telah membuat mereka berharap atas saya.”

Aruni menunduk kian dalam.

“Saya bukan siapa – siapa sehingga harus diperlakukan seperti ini. Karena kamu yang di hadapanku pun tak menjaga jarimu untuk menambah beban dipundakku. Mengajakku menikah.”

Ucapan Fahim barusan terasa Guntur ditelinga Aruni, seolah terdakwa yang divonis bersalag. Suara Fahim selalu terdengar baik, tapi kali ini berisi duri dalam setiap katanya, menyakiti hati Aruni tanpa dipungkiri.

“Jangan jadikan saya alasan untuk apapun di hidupmu. Saya meminta maaf karena tidak mampu menjaga diri, sehingga menimbulkan berbagai harapan atasmu dan perempuan yang lain di luaran sana.”

Aruni tergugu ditempatnya. Meratapi hatinya yang ingin menangis saat ini juga. Fahim berdiri dan mengucap salam sebelum pergi. Aruni tidak jadi meratapi dirinya, dia berjalan mengejar Fahim.

“Mohon maaf, Ustadz. Sebentar.” Ujar Aruni.

Fahim menghentikan langkahnya. Aruni menyodorkan kantong yang berisi obat – obatan.

“Jika itu menjadi beban, saya mencabut kata – kata saya. Saat itu hanya kekesalan sesaat ketika orang yang saya kasihi menikahi orang lain.”
Ucapan itu begitu jelas terdengar.

“Semoga cepat sembuh lukanya Ustadz, Maafkan jika memang saya memiliki kesalahan atas diri ustadz. Assalamualaikum.”

Aruni berlalu setelah menampilkan wajah Nampak biasa – biasa saja. Fahim mematung dengan kantong yang tersimpan rapi dilantai. Aruni berjalan tidak lega sama sekali sebetulnya, sejatinya dia sakit saat ini karena ada penolakan dari ucapan lelaki itu tadi.

Dia memang salah karena telah  mengharapkan  pribadi mengagumkan seperti dirinya.

Sepeninggal Aruni, Fahim berlalu.

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang