TAKLIF

4.2K 509 28
                                    

Pagi ini udara Mesir selalu dingin, Fahim sudah diantar Raiz menuju bandara. Wajahnya senantiasa terlihat baik – baik saja walaupun ada gejolak rasa yang ditenggelamkan begitu saja.

Tidak ada kata pamit. Wajahnya hanya tertangkap saat acara, Pagi ini semua kembali seperti semula mengiringi rasa yang tak menemukan muara.

Raiz memeluk putra Ustadznya ini erat. Mengiring do’a sebelum terbang kembali ke negera selanjutnya.

Fahim mengangkasa. Matanya menatap lurus awan yang terhampar lewat jendela pesawat. Tidak ada suara, ia lalu memejam mendawamkan dzikir dihatinya senantiasa.

Di Istanbul Turki para panitia mulai sibuk mempersiapkan, ada Aruni yang didampingi debar yang tidak juga dia mengerti.
Acara di Turki, Fahim akan tinggal selama sepekan lamanya.

Di saat acara ini, dia akan datang beberapa jam sebelum acara. Tidak menginap dahulu seperti sebelumnya. Hari ini pun tiba, semua orang sudah sibuk. Persiapan sudah sempurna. Aruni, sibuk mengurus konsumsi dengan Fatima.

“Bagaimana perasaanmu, saat selama ini hanya melihatnya lewat social media, kini bertemu langsung?” Tanya Fatima.

“ Ini bukan pertama kali aku melijatnya, biasa saja.” Jawab Aruni santai.

Musab, Calon suaminya Fatima menginformasikan bahwasannya Fahim sudah datang, sudah masuk ke ruangan yang disediakan untuk istirahat.

“Boleh, langsung berikan makanan kepada beliau.” Ujarnya.

Fatima memegang bahu Aruni, Aruni membawa makanan di atas baki. Mereka berjalan beriringan walaupun Aruni berusaha Nampak biasa – biasa saja. Toh, ini hanya rasa kagum biasa saja.

Tapi saat Fatima mengetuk pintu lalu mengucapkan salam dan ada jawaban di dalam jantung Aruni berdetak tidak karuan.

Saat pintu itu dibuka Aruni melihat sosok mengagumkan itu sedang menunduk, sorbannya tanggal dari wajahnya. Biasanya dia sering menutup wajah menawannya itu.

Fahim yang sedang menunduk sambil terkantuk – kantuk, mendengar suara piring yang beradu dengan piring lain. Fahim melihat sekilas seorang muslimah Turki dengan gemetaran membawa nampan makanan untuknya serta Ghadi.

Untuk pertama kalinya, dirinya mendengar piring saling beradu seperti itu. Saking groginya, lalu dirinya menarik kesimpulan bahwa muslimah ini mengerti sebuah batasan. Entah kenapa Fahim tersenyum kecil.

Tangan putih bersih itu terlihat gemetar saat menyimpan berbagai hidangan dimeja, tidak dengan muslimah satunya lagi yang terlihat santai – santai saja. Ia pun berdiri dengan gugup, Fahim kesenangan melihat reaksi itu. Gemas saja dilihatnya.

“Makanannya, Akhi. Silahkan dimakan.” Ujar Aruni lembut.

“Jazakunallah khairan katsir. Saya pasti makan.” Fahim tersenyum secukupnya tapi membuat wajah Aruni memerah.

Wajahnya yang putih bersih begitu transfaran mempertontonkan rasa malunya. Fahim lagi – lagi hanya tersenyum.

“Sungguh mulia, seorang muslimah berhiaskan rasa malunya.” Puji Fahim.

Aruni, merasakan jantungnya berontak kian cepat. Dirinya pamit, bergerak cepat untuk segera hilang dari ruangan ini. Dia begitu tergesa lalu Braakk Suara tubuh yang beradu dengan daun pintu yang tertutup terdengar nyaring.

“Pintunya tadi saya tutup.” Ujar Ghadi sambil tak tega melihat Aruni yang menutup wajahnya karena malu.

Fatima, ingin terawa sekuat – kuatnya tapi dirinya tahan, Fahim terkekeh pelan. Sungguh tawa yang indah ditelinga Aruni.

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang