MASYGUL

5.1K 585 83
                                    

Hiruk pikuk manusia menjejali semesta, berbeda jenis berdampingan mencari jalan pulang yang tak sama. Letih, mengorbankan apapun atas nama sebuah kebahagiaan tanpa tahu kebahagiaan itu tidak jauh dari dirinya sendiri.

Banyak yang berlari ke gunung mencari kepuasaan sebuah nilai estetika lewat polesan senja dipuncak tertinggi bumi. Berlari kelaut, mencari kesejukan meninabobokan jiwa.

Padahal, aku amat sederhana. Nilaiku tidak bernilai emas permata. Di saat engkau dekat dengan sang maha kuasa, syukur memenuhi dadamu. Aku si kebahagiaan berada di sana.

Definisi keikhlasan yang selalu berakhir pekikan tak puas dari jiwa-jiwa yang diberi amanah ibadah yakni manusia.

Perempuan itu tampak murung setelah dia mengupload konten youtube mengenai bukunya. Perempuan cantik yang mampu menjatuhkan lelaki manapun juga, tapi malam ini dia terluka. Air matanya mengalir dipipinya yang merona.

“Kamu salah telah menolakku, Ustadz.” Lirihnya.

Deretan photo ustadz muda berjejer didinding kamarnya bak idola, berbagai pose saat dia sedang mengisi kajiannya di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

“Tidak ada perempuan sesempurna aku dalam menginginkanmu, harusnya kamu sadar akan hal itu.” Raungnya sendiri.

Make up yang selalu memoles wajahnya pun luntur saat itu juga. Malam itu dia bertekad untuk tidak menyerah atas niatannya yang hanya dibalas permintaan maaf. Bahwa di sini seorang lelaki pun bisa menjadi fitnah saat tidak ada yang bisa menjaga Iffahnya sebagai seorang muslimah.

Di saat dia memiliki ilmu yang tinggi baik ilmu agama ataupun dunia dengan didukung penampilan fisik yang rupawan juga, disertai akhlak yang membingkai keindahan pribadinya pula. Sungguh ini pun tidak bisa lepas dari perhatian seorang perempuan.

Seperti halnya Nabi Yusuf yang membuat Zulaikha terjerembab dan para perempuan lain tanpa sadar melukai tangannya sendiri, saat melihat fisik Yusuf yang begitu sempurna. Maka kenapa kerupawanan wajah adalah amanah yang berat bagi orang-orang yang mengerti.

Maka sejauh mana Fahim menjaga dirinya, Menahan pandangan para muslimah kepada dirinya. Selalu ada celah colongan yang membuat setan leluasa mengobrak-abrik hati seorang manusia yang diberikan dominan perasaannya.

Maka senantiasa ada firman Allah untuk tidak mendekati zina, bagaimana semua bermula dari sepele tapi malah membakar diri pada akhirnya.

“Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karuniaNYA” (QS An Nur : 33)

Di sepertiga malam yang hening, seorang lelaki sudah bangun mendirikan shalat malam. Wajahnya basah rambutnya pun tertutup rapi kopiah putih dikepalanya.

Langkahnya senyap dijalan-jalan pesantren yang sepi. Masih Jam satu pagi di mana nanti para santri dibangunkan pukul setengah tiga pagi untuk shalat malam.

Fahim senantiasa menguasai Masjid ini terlebih dahulu, sebelum Abinya menyusul sejurus waktu kemudian. Dia bertakbir, khusyuk dengan sujud-sujud panjangnya.

Meminta menjaga hatinya yang sudah tidak tahu diri. Menyalahi segala aturan baik dari RabbNya.

“Maafkan hati hamba yang mengingkari, Harap kecil hamba tak ada yang tahu mengenai fitrah sebuah rasa mengasihi selainMU dan bukan lain-lain dariMU. Aku mengharapkan cinta yang tidak gaduh selagi hambamu meluruskan segala niatan yang harusnya menjadi lurus.” Lirihnya.

Dia kembali berdiri, menyadari dosanya yang sebanyak segala apa yang ada. Mengukur kebodohannya sebagai hamba yang kadang masih zalim kepada sesama bahkan dirinya sendiri.

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang