MENGEJA RASA

4.7K 601 124
                                    

Terik sinar matahari terasa begitu menyengat kulit, Asma terlihat senang atas tanggapan Fahim mengenai harapannya. Seperti akan ada obrolan serius mengenai hal yang sangat diinginkannya itu.

Mereka pun berlanjut ke kantin pesantren. Aruni sudah tidak antusias untuk mengganjal perutnya sebelum makan siang.

“Kalian mau apa? Ambil aja, aku traktir.” Ujar Asma.

Aruni rasanya sedang bermuka dua, karena hatinya menganggap perempuan ini saingannya tapi wajahnya selalu tersenyum ramah.

“Ustadz Fahim itu pernah terdengar mau melamar siapa? Atau menyukai siapa gitu?” Tanya Asma saat mereka sudah duduk dimeja kantin.

“Walaupun kita tahu, itu urusan pribadinya mas Fahim mba. Kita tidak pernah membicarakannya terlalu jauh.” Ujar Hasna.

“Kalian emang gak tahu di luaran sana banyak yang menyukai dia? Bahkan selebgram-selebgram muslimah.”

“Tahu sih, tapi toh mas Fahim pun tidak pernah membanggakan itu semua. Beliau, fokusnya menyebar manfaat. Kalau yang Hasna lihat sih gitu.” Hasna mulai ketus menjawabnya.

Asma, sepertinya tidak peduli dengan jawaban Hasna karena dia terus berbicara ini dan itu.

“Ustadz Fahim punya kriteria khusus untuk menjadi isterinya?” Tanya Asma lagi.

Aruni hanya mengaduk cendol yang dipesannya. Kesegaran cendol rusak akibat antusiasnya pembicaraan mengenai Fahim siang ini.

“Setahu Hasna, Mungkin seperti Bundanya, Ustadzah Keira.”

“Wuahh, Aku sih ridho kalau udah nikah disuruh menutupi aurat dengan sempurna apalagi itu untuk ustad Fahim aja.”

Hasna hanya tersenyum sopan menanggapinya.

“Nanti dia akan bilang apa ya? Ayo deh kita selesaikan tandatangan hari ini.” Ujarnya lagi.

Hasna dan Aruni mengikuti apa maunya penulis ini saja, mereka pun ingin cepat-cepat menyelesaikan ini semua. Asma menandatangani buku-bukunya dengan semangat. Setelah beres dia langsung melesat pergi ke kediaman Sidiq.

Masjid pesantren Sidiq sudah mulai lengang setelah melaksanakan Shalat Ashar, Aruni terduduk diundakan tangga. Menyandarkan kepalanya dipegangan Masjid. Cukup lama dirinya menamani Penulis buku baru yang terbit untuk tandatangan.

Begitu rasanya saat seseorang yang kita sukai pun dipuja-dipuji orang lain, ternyata kesal sekali mendengarnya.

Aruni menatap langit sore, daun yang terbang kesana kemari tertiup angin. Udara yang sejuk, orang-orang pesantren yang begitu baik, menambah tentram lingkungan ini.

“Saya melihat, daun yang jatuh mendadak berhenti sejenak saat melihat perempuan Turki merenung menatapnya.” Ujar suaranya yang tadi siang menyuruh Asma ke kediamannya.

Ghadi pun terlihat berdiri di sisinya.

“Saya rindu rumah Ustadz, rindu Turki.” Curhat Aruni begitu saja.

Dia sudah tidak memperdulikan perasaannya yang selalu kesenangan sendiri saat ada lelaki ini di dekatnya.

“Saya pikir Pesantren Sidiq sudah tak membuatmu rindu kampung halamanmu.”

“Mana bisa begitu, di sana ada orangtua saya, keluarga saya. Orang-orang yang menyayangi saya tanpa memohon meminta kasih sayang kepada mereka.”

Fahim tetap berdiri menjulang di sisi Aruni duduk, dengan Ghadi duduk diundakan tangga di atas dari posisi Aruni dan Fahim berada. Menyaksikan dua sejoli yang sedang mengeja perasaan mereka.

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang