8: erased

231 48 4
                                    

Saat aku membiarkan diriku mendengarkan suara hujan diluar sana, aku menyadari bahwa Yunseong sedang bermain-main dengan handphone-nya. Aku menoleh padanya yang terlihat sangat fokus, wajahnya diterangi cahaya dari layar handphone-nya.

“Kamu sedang apa?” Tanyaku.

Dia mengangkat kepalanya padaku. “Bermain puzzle.”

Aku mengerutkan keningku samar-samar. “Aku pikir kamu harus menghemat baterainya. Kalau-kalau sinyalnya tiba-tiba kembali.”

Yunseong kemudian mematikan handphone-nya setelah aku mengatakan itu. “Baiklah, nona.”

“Sudah jam berapa sekarang?” Tanyaku.

“Terakhir kali aku cek, sekitar pukul 2 pagi.”

Aku menghembuskan nafas panjang. “Ibuku pasti sangat khawatir sekarang.”

Dia tidak menjawab, tatapannya datar. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Mungkin dia sudah lelah menghadapiku yang selalu gelisah ini. Aku memutuskan untuk menutup mulutku di waktu kedepan karena aku sadar aku tidak banyak membantu di situasi ini.

“Cho Minjee,” Dia memanggilku begitu lembut, hingga aku kembali menatapnya.

“Ya?”

“Apa kamu pernah merasa seperti melupakan bagian terpenting dalam hidupmu? Kamu tahu, momen itu terasa seperti berada di ujung bawah sadarmu, tapi kamu tidak bisa mengingatnya.”

Pertanyaan kompleksnya membuatku mengerutkan keningku. Hal itu malah membuatku memikirkan kilasan balik yang sempat menyerangku tadi hingga membuat kepalaku sakitnya bukan main. Momen yang terhapus? Aku tak pernah memikirkan hal itu hingga saat ini. Yunseong memandang wajahku selama beberapa detik, menunggu jawabanku.

“E-entahlah, kurasa tidak.”

Jawabanku membuat ekspresinya berubah. Aku tak bisa menelitinya tapi aku yakin jawabanku bukan seperti yang ia harapkan. “Memangnya kenapa? Kamu pernah merasa seperti itu?”

Bukannya malah menjawab, tangan Yunseong malah terulur pada wajahku kemudian menyelipkan helaian rambut ke belakang telingaku. Aku tak tahu maksudnya melakukan apa, tapi perlakuan kecilnya itu sukses membuatku mengulum senyumanku.

“Aku hanya penasaran akan sesuatu,” Dia menatap mataku lekat-lekat, lantas menjalankan jempolnya pada rahangku dan jemarinya yang lain turun kemudian menahan ceruk leherku.

Aku merasakan jantungku kembali berdegup kencang. Kupu-kupu itu kembali menghiasi perutku tanpa aba-aba yang jelas. Dia tidak mengatakan apapun, namun saat aku menatap matanya, seolah ia ingin menceritakan sesuatu.

“Penasaran akan apa?” Tanyaku gugup.

Aku terkaget setengah mati saat ia mendekatkan wajahnya padaku, lantas sebelah tangannya masih menahan leherku untuk tidak menjauh. Aku teringat ini bukan pertama kalinya dia melakukan hal ini padaku, namun kali ini terasa berbeda. Dia menghembuskan nafasnya perlahan didepan wajahku yang kurasa tengah memerah sekarang. Matanya yang besar itu sedang meneliti setiap inci wajahku, lantas berhenti disatu titik –bibirku. D-dia mau apa?

Aku merasakan perutku membuncah saat dia memandangi bibirku untuk beberapa detik. Dia kemudian memiringkan wajahnya, semakin memajukan tubuhnya, dan bibirnya berhenti tepat disamping telingaku. Aku tertegun dan terpaku. Nafasnya terdengar begitu jelas disamping telingaku dan jujur itu membuatku geli. Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang seperti campuran sampo dan melon, tapi untuk sepersekian detik aku menahan nafasku, terlalu terpaku terhadap apa yang dia lakukan sekarang.

Aku ingin keluar dari situasi ini sebelum dia berani bertindak yang lebih jauh.

“Kenapa kamu tidak ingat padaku, Cho Minjee.” Dia berbisik dengan begitu lembut pada telingaku, mengirimkan perasaan yang membuat merinding.

Lemonade Nights | Hwang Yunseong ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang