1. Mama?

15K 2K 660
                                    


Kota Jakarta, Indonesia.


"Lin." Satu di antara dua perempuan itu memanggil temannya. "Lo masih betah sama bocah-bocah itu?" tanyanya.

"Gue nggak tau, Rin," Lina mendengus, "kalau kita gini terus, kita bakal ketauan punya anak! Kita nggak akan laku lagi nanti. Ah, sial! Harusnya udah gue buang aja tuh mereka."

Arina terkekeh melihat sahabatnya itu yang sedang kesal. "Lah, lo pikir gua nggak pusing juga, hah? Uang gue sering habis buat beli susu sama popok! Uang itu harusnya bisa gue beliin make up atau baju branded! Bukannya buat kebutuhan bocah ingusan!" geram Arina.

Dentuman club itu melatar belakangi keheningan di antara mereka berdua. Club? Iya, club. Sudah tak asing jika kedua perempuan yang masih termasuk muda itu berada di tempat seperti ini, dan jangan lupa dengan baju minim mereka. Beberapa pria berhidung belang mengedipkan mata mereka dan menggoda Arina dan Lina. Dan tentunya dibalas dengan senang hati oleh mereka berdua.

"Heh, Lin."

Lina menoleh. "Apa?" jawabnya sembari meneguk segelas bir.

"Gimana kalau ... kita buang aja mereka?"


***


BRAK!


"MARK!"


Drap! Drap! Drap!


"MARK!" teriak Arina lagi.

Lalu beberapa detik kemudian datanglah anak laki-laki berusia 6 tahun dengan napas yang berantakan dan wajah takut.

"I-iya, Ma?" tanya anak itu.

Arina melempar tasnya tepat ke dada anak laki-laki di hadapannya itu dengan kencang. Lemparan tas itu sukses membuat Mark kelabakan menangkapnya Jangan lupakan juga rasa nyeri di dadanya.

"LAMA BANGET! KALAU GUE MANGGIL LO  HARUS CEPET NYAMPERIN! ANAK NGGAK TAU DIUNTUNG!"

Mark yang dibentak seperti itu hanya bisa menunduk sembari mendekap tas ibunya dengan erat. Teriakan, bentakan dan makian seperti ini sudah Mark konsumsi setiap hari. Namun ia tetap saja takut dan tak berani menatap Ibunya itu.

"Mark," Arina menatap datar anaknya itu, "liat Mama."

Mark yang masih ketakutan itu perlahan mengangkat kepalanya. Memberanikan dirinya untuk menatap mata sang Ibu. Arina mendekat pada anak sulungnya itu. Suara ketukan sepatu high heels Arina dengan lantai bagai suara langkah kematian bagi Mark. Namun Mark tetap memberanikan dirinya untuk terus menatap mata Arina. Arina berhenti di hadapan Mark. Lalu perempuan itu berlutut, menyamakan tingginya dengan bocah itu.

"Anak yang baik harus nurut sama Mamanya, 'kan?" tanya Arina pelan, masih dengan wajah datar.

"Iya, Ma ..." cicit Mark.

7 Dream [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang