16 | Zero Awareness

868 120 6
                                    

Cho Dahee
Home, Midnight.

Aku meniup sela-sela kepalan tanganku. Mencoba menyalurkan kehangantan.

Ini sudah hampir tengah malam dan aku baru saja pulang. Sungguh menjadi seorang gisaeng tidak seringan membopong sanggul mewah di atas kepala. Aku harus menahan kantuk di pagi hari dan berusaha terjaga di malam hari.

Ku lihat penghuni rumah di sebelahku masih terjaga. Dari jendela terlihat jelas bahwa ia tengah mengikat rambutnya. Dengar-dengar ia sudah punya suami. Pekerja kantoran pula.

Aku terkekeh, apa yang terlintas di benakku barusan? Iri? Mungkin iya, paling tidak menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan terbaik daripada harus menjadi wanita malam sepertiku.

Kepalaku menoleh begitu jendela itu terbuka.

"Cho Dahee-ssi?" panggilnya.

Alisku terpaut, ini pertama kalinya dia menyapaku.

"Ne?"  Aku masih mematung di tempatku berdiri.

"Petugas dari perusahaan air memintamu untuk segera mengurusi masa teguran yang hampir lewat. Ah ya, tunggu sebentar"

Wanita itu tiba-tiba menghilang dari jendela. Mungkin suami atau siapa pun itu sudah menegurnya karena terlalu berisik malam-malam.

Tapi aku tetap setia, aku masih berdiri di depan pintu menunggunya.

Rupanya wanita itu keluar dan menghampiriku.

"Maaf aku menggangumu malam-malam" ucap wanita itu.

Aku menggeleng seraya tersenyum sekilas.

Ia menyerahkan satu amplop kecil, "ini dari petugas tadi, dia memintaku untuk memberikannya langsung padamu" dia tetap tersenyum meski terlihat jelas bahwa ia kelelahan, kantung matanya sudah menebal.

Surat teguran ke-dua dari perusahaan air. Ku telan ludahku dalam diam. Betul. Aku belum membayar tagihan bulan ini.

"Dia bilang kau sering mengabaikannya. Sebenarnya ini sudah lewat dua hari dari saat dia memberikannya padaku. Hanya saja kita jarang bertemu. Kau juga rupanya sering pulang tengah malam" jelasnya.

Aku mengangguk, "terima kasih".

Aku merasa malu. Bahkan aku masih merugikan orang lain dalam hal ini, oh tuhan.

"Aku mengerti. Menjadi wanita karir memang sulit membagi waktu apalagi untuk sekedar hal-hal kecil. Egonya masih tak tentu. Merasa bahwa dirinya sudah paling handal dalam segala hal" dia melipat kedua tangannya didada. Bibirnya memasang senyuman tipis nan manis.

Aku mengernyit, apa baru saja dia meledekku.

Dia menghela nafas, "andai aku belum menikah. Mungkin aku akan kepusingan seperti dirimu. Rasanya aku rindu" gumamnya.

Semakin lama pembicaraannya semakin sulit aku mengerti.

Aku membasahi bibirku, "aku harus masuk ke dalam. Terima kasih untuk ini" ku acungkan surat tadi lantas membuka pintu.

"Tunggu Dahee-ssi!! apa kau pandai memasak?"

"Ne?"

Ia kembali tersenyum, "besok malam adalah perayaan pernikahanku. Tapi aku tidak bisa memasak dengan bahan-bahan yang sulit. Apa boleh aku meminta bantuanmu?" Ujarnya setengah ragu.

"Memasak?" Aku membeo.

Wanita itu mengangguk.

"Ke-kenapa harus aku? Kau bisa memesan makanan di jaman sekarang" pungkasku terbata-bata.

Man in Mind | Kim NamjoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang