"Ne?" Dahee mengerjap dua kali. Meski begitu Namjoon tidak akan tahu.
Selanjutnya, "aku tahu ini sangat tiba-tiba. Tapi tidak salah bukan jika aku mengatakannya"
Dibalik telpon itu Dahee tak lagi menjawab sebab saat ini dirinya lebih nyaman mendengarkan suara Namjoon. Dia tidak terhanyut, hanya saja Dahee sendiri kebingungan harus berkata apa.
"Aku tidak mengerti" timpal Dahee.
"Ah, maaf. Rasanya sulit sekali berkata ini. Tapi aku merasa bahwa aku mulai menyukaimu, Cho Dahee"
Bak hujan ditengah teriknya matahari. Ucapan Namjoon terlalu mendadak sampai-sampai Dahee terkesima. Tak luput tangannya menangkup mulut yang sudah terkatup rapat. Dahee membisu seribu bahasa.
Hening. Nyaris satu menit berlalu dalam kebungkaman. Layaknya mereka menciptakan kutub dalam dirinya masing-masing hingga ke titik beku.
Entah apa yang ada dalam benak Dahee saat ini. Dia tidak mampu berpikir lagi.
Deretan pertanyaan silih berganti menempati sela-sela kosong pikiran Dahee.
Kenapa harus Namjoon? Kenapa harus Dahee yang Namjoon sukai? Bahkan ditilik dari sisi manapun rasanya Dahee tak akan pernah cocok .Belum sempat Dahee mendapat jawaban atas apa yang dia risaukan, tanpa sadar sambungan Namjoon terputus begitu saja. Dahee merasa bersalah.
***
Entah setan apa yang merasuki Namjoon saat ini.
Dia tahu ini terlalu konyol. Hal paling konyol dari perbuatannya selama ini. Mengungkapkan perasaan seperti anak SMA sungguh bukan gayanya apalagi keinginan dari logika itu sendiri.
Selama beberapa saat dia termenung setelah memutuskan sambungan telpon dari satu pihak itu bukan lagi rasa malu melainkan keraguan juga mulai merambati akalnya. Ragu jika ini benar-benar perasaan dari lubuk hatinya atau hanya sekedar nafsu belaka. Setiap kali melihat Dahee, Namjoon merasa senang dan sedih. Ingin merengkuh namun bersikukuh. Bagaimana pun ini bukan hal mudah atau bukan hal yang sulit juga.
"Apa yang kulakukan?" pekiknya ditengah helaan napas putus asa.
Lampu redup-redup di penginapan Namjoon sekarang menjadi penyebab matanya berat dan mulai merapat. Namjoon tertidur di dinding kayu dengan punggung yang menyandar sepenuhnya. Sepertinya dia cukup lelah bergelut dengan berbagai perasaan ataupun pikiran yang kalang kabut seharian ini.
Satu dentingan nada pesan masuk pun tak mampu membangunkan beruang kutub yang terlelap itu.
***
Pagi-pagi sekali Namjoon mempercepat langkahnya. Tas serta jaket tebal miliknya dia biarkan mengait sebisa mungkin. Beberapa kali tas itu melorot namun Namjoon tidak peduli. Dia lebih peduli waktunya yang entah kenapa jadi sangat menyebalkan.
Semalam Dahee memintanya bertemu di balkon kota yang terletak dekat penginapan. Dahee juga bilang ia sedang menunggunya. Tapi apa yang gadis itu dapat. Dia mendapati Namjoon yang tak membalas pesannya atau sekedar memberitahukan alasannya kenapa.
Napas Namjoon terengah-engah begitu langkahnya sampai di gang depan rumah Dahee. Jalanannya cukup menanjak terlebih dia tempuh dengan berlari. Masih terlalu dini. Kemungkinan anjing-anjing pun belum bangun karena masih diselimuti kabut putih desa ini.
Begitu pun Namjoon yang mulai merasa kedinginan. Lehernya yang bebas dia biarkan terekspos tanpa syal tebal.
Tangannya mengetuk besi yang menggantung di pintu gerbang sederhana rumah itu. Munculah seorang wanita paruh baya yang kemungkinan sudah bangun dari pagi buta. Terbukti matanya terlihat segar sementara mata Namjoon masih bengkak karena baru bangun tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Man in Mind | Kim Namjoon
Fanfiction#NamjoonFanfiction "How can i hold any longer? No one else does" Ucap Dahee lirih seraya menunduk menatap tanah dibawah kakinya. "Everything goes" balas Namjoon sebelum akhirnya meraup kedua pipi Dahee dengan pelan takut jika kulit lembut pucat itu...