21 | Real

837 119 4
                                    

Dan kerisauan Minseo telah terbukti.

Dibalik selimut tebal Dahee bergelung tanpa suara.

Minseo menghela nafas lantas mendekati Dahee yang masih terbaring lemas. Sudah hampir satu minggu gadis itu demam. Hari ini lebih parah, badannya justru semakin tak berdaya kala Minseo memasuki kamarnya dengan lancang.

"Dahee-ya, bangun. Kau belum makan dari semalam, kan?"

Suara decitan kasur menandakan Dahee yang menggeliat dan memposisikan tubuhnya memunggungi Minseo. Dahee tidak ingin makan. Untuk apa jika semuanya tetap sia-sia. Ibunya pun mungkin sudah tidak peduli. Ya tuhan, kenapa Dahee harus kembali mengingat kedua orang tuanya.

"Ayo bangun, ibuku sudah membuatkanmu sarapan. Kau mampu menolaknya?"

Semakin Minseo berbicara maka semakin dalam pula Dahee menenggelamkan wajahnya dibalik selimut.

Sungguh, Minseo sudah sangat frustasi. Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan orang yang sedang demam tetapi seakan telah diponis mengidap penyakit mematikan. Tidak punya selera untuk bertahan hidup, seperti itulah kira-kira.

"Baiklah, nanti kalau kau lapar ambil saja di dapur. Tidak perlu dihangatkan lagi. Aku sudah menyimpannya di tas khusus"

Minseo beranjak dari duduknya. Sekilas memandangi gadis keras kepala itu dengan hati yang sedikit pedih. Ia tahu seberapa berat beban yang Dahee pikul hingga berujung hari ini. Dia juga tahu selama ini Dahee hanya berusaha baik-baik saja.

Dahee masih belum bergeming hingga Minseo keluar dari kamarnya. Pria itu sudah berpamitan pada Dahee meskipun ia tahu tidak akan ada respon dibalik selimutnya.

Dahee menyibak selimut yang sedari tadi melilit seluruh tubuhnya. Dia menghembuskan nafas berat, seberat kepalanya yang lagi-lagi terasa pening.

Beberapa kali ponselnya berbunyi nyaring diatas nakas. Demi dewa dewi, kalau saja badannya dalam keadaan bugar mungkin saat ini ia dapat membanting benda pintar tersebut dengan kasar. Mungkin hingga hancur sekalian agar suara memekakkan itu cepat hilang. Dia menangkup kedua telinganya, berusaha menghindari deringan itu lagi. Tapi nampaknya si penelpon itu tidak mengerti dan semakin menambah frekuensi agar Dahee lekas mengangkatnya.

Sekuat tenaga tangannya meraba pinggiran nakas dan meraih benda sialan itu.

"Hallo?" Gumamnya seraya memijat kening yang mulai berdenyut. Teenggorokannya pun terasa kering sangat kering. Beberapa kali ia berdehem.

"Aku di depan rumahmu sekarang"

Tanpa pikir panjang, Dahee terduduk dari baringnya.

"Aw~"

Suatu kebodohan memang. Mendadak merubah posisi memang sangat mudah tetapi menormalkan rasa sakit dan peningnya begitu susah dan menyiksa. Dahee sampai harus meringis berkali-kali karena sengatan di kepalanya.

"Kau baik-baik saja Dahee-ssi?" tanya cemas seseorang di balik telpon itu.

Dahee tersadar, rupanya erangan itu sampai ke telinga pria di depan rumahnya.

"Ah, ya. mmm.. ada perlu apa?"

"Aku ingin bertemu"

"Apa aku tidak boleh masuk? Pintunya terkunci" lanjut Namjoon.

Dahee lantas menyahut, "tekan saja 1205".

Persetan dengan orang-orang yang akan menelusup rumahnya. Yang jelas dia tidak bisa menyambut pria itu dengan baik. Membuka pintu, membuatkan teh atau kopi dan sekedar berbasa-basi. Dahee tidak bisa. Ralat, sedang tidak mampu.

Man in Mind | Kim NamjoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang