23 | When Will

809 112 4
                                    

Dahee sejenak berhenti di depan rumah model kuno yang masih terlihat kokoh.

Taman kecil sekitar halaman depan hingga samping rumah membuatnya semakin cantik dipandang mata. Sayang ini bukan momen yang tepat untuk dinikmati. Sebab kedua kuping Dahee mendengar seseorang buru-buru keluar dari rumah itu.

"Untuk apa kesini anak sialan?! Pergi!"

Suara ayahnya menyambut Dahee dengan tidak mengenakan. Meski begitu Dahee tetap tenang. Sekilas hidungnya menghirup udara dalam-dalam lantas menghampiri ayahnya yang semakin melotot.

Tidak ada kengerian sedikitpun dimata Dahee. Sambil menghiraukan satu pukulan telak di bahu kirinya dia tetap berjalan gontai.

Sang ibu menyambutnya dengan raut wajah masam. Di keluarga ini sudah bisa dipastikan jika mereka amat benci kepada Dahee. Semua itu tentu ada penyebabnya.

Rasanya udara yang Dahee hirup diluar rumah tadi, ia hembuskan seluruhnya dihadapan wanita paruh baya itu. Tapi lagi-lagi Dahee lalui. Dia hanya berjalan melewatinya dan langsung menggoyang-goyang kenop pintu kamarnya yang dulu-kamarnya sedari kecil sekaligus kamar kakaknya dahulu.

Keningnya mengkerut kala pintu itu sama sekali tidak bisa dibuka.

"Pergi sebelum aku benar-benar tidak mengakuimu lagi" ucap sang ayah begitu tepat di belakang Dahee.

Dahee kembali mengoyak pintunya dengan kasar hingga suara besi jatuh mengagetkan mereka bertiga. Ternyata pegangan pintu itu lepas dari tempatnya.

Entah kenapa rasa sesak semakin kentara diantara dadanya. Bahkan satu hal pun tidak berjalan lancar, pikir Dahee.

Tanpa basa-basi gadis itu kembali ke dekat pintu depan kemudian mengambil tongkat baseball yamg sempat ia lihat tadi. Dipukulkannya benda itu sangat keras hingga celah kamarnya mulai sedikit menganga.

Terdengar helaan napas dari ibu dan ayahnya, tak lupa cacian seperti 'sinting, tidak tahu diri dan psikopat' mengumandang dikala Dahee mulai menginjakan kaki dikamarnya.

Kedua orang tuanya tak mampu lagi menahan Dahee dan membiarkannya sendiri di dalam.

Kamar itu masih sama. Kain pembungkus kasurnya masih bermotif sama meski sudah pudar dan berdebu banyak. Nampaknya ibu tidak berniat membersihkannya walau secercah pun. Dahee tidak peduli. Dia memilih duduk diranjang yang biasa kakaknya gunakan untuk tidur dan beristirahat.

Tangannya meraba debu itu hingga bergetar. Tak bisa dipungkiri bahwa rasa dingin merayap ditelapak tangannya. Dahee selalu berpikir bahwa rasa seperti ini mungkin menemani kakaknya di hari terakhir sebelum dia tiada.

Demi tuhan Dahee tak tahan lagi memikirkan banyak hal berat yang menimpa kakaknya dulu. Dahee mulai menangis. Dia menggigit bibir bawahnya sebagai upaya menahan isakan yang mencoba lolos dari mulutnya.

"Jangan maafkan aku kak. Aku tidak bisa"

Kepalanya menggeleng dan menunduk. Tangannya menangkup kuping yang kian berdenging menandakan bahwa dahinya sebentar lagi akan berdenyut seperti biasa.

Suara keras diatas atap kamar itu mengalihkan renungan Dahee. Cepat-cepat dia mengibas jendela dan matanya kembali tergenang air mata.

Ternyata hujan.

Keajaiban atau musibah apa lagi yang akan menghampirinya secara mendadak begini.

***

"Biarkan aku tinggal disini"

Satu kalimat yang membuat kedua orang tua Dahee semakin geram.

Tidak cukupkah gadis itu hanya kembali ke rumahnya sekilas. Luka serta duka mendalam pada diri ayah serta ibunya takkan pernah sembuh selama mereka menganggap bahwa Dahee lah penyebab semua dari kekacauan ini.

Man in Mind | Kim NamjoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang