Lantunan Le Grand Bleu milik Wilcox, lovey menjadi teman Namjoon saat ini.
Di atas deretan papan kayu ia berdiri. Kepalanya mendongak lantas berhembus pelan. Sebentar lagi petang menyapanya di pinggir danau ini. Jika keliru mungkin saja hujan yang akan menghampirinya. Yang jelas, langit tidak secerah sore pada saat musim panas. Begitu pekat layaknya kopi.
Di upuk matanya terpancar warna jingga dan silver kerlap kerlip bergantian. Cahaya itu berasal dari rumah-rumah warga di sebrang genangan air besar itu.
Langkahnya berhenti tepat di ujung jembatan buntu yang sudah dibatasi besi dan kayu. Di pinggirnya ada lampu menyerupai lentera kuno. Menambah kesan romantis antara dirinya dan senja.
Namjoon mendongak lagi seraya memejamkan matanya begitu ia menyesap lebih banyak aroma serta udara segar dari pinggir danau itu. Ah, dia butuh ini. Dia butuh alam untuk meredakan pikiran serta ambisinya yang begitu membara.
Earbuds yang sedari tadi bertengger di kedua telinganya, ia lepas begitu saja. Bukan saatnya ia mendengar musik, bukan saatnya ia terpaut dengan mesin ajaib itu. Suara alam adalah yang paling indah. Gemuruh air seakan menjadi backsound alaminya.
Di balik jalinan Namjoon dengan danau, jembatan, senja dan angin dingin sore itu, ada seseorang yang tengah mengamatinya jauh bermeter-meter dari jarak pria itu berdiri.
Cho Dahee.
Beberapa detik yang lalu paru-parunya serasa diperas secara paksa. Bagaimana tidak, sepanjang jalan area danau itu ia berlari berhektar-hektar luasnya. Takut bila mana Namjoon akan marah atau pulang sebelum ia tiba. Tapi detik itu berlalu, sesaknya berlalu begitu matanya menangkap sosok pria bertubuh tinggi itu seakan tengah menikmati keadaan. Dadanya pun ikut tenang.
Dahee menyisir rambutnya dengan tangan meskipun helai demi helai rambut itu mustahil untuk segera dirapihkan. Ia mengatur nafasnya serta degup keras yang muncul dari dadanya. Ia tangkup jantung itu agar cepat normal kembali. Oh ayolah.
Sesampainya di jembatan, langkah Dahee semakin menengah dan mendekati Namjoon berdiri. Pria itu sedikit terkesiap karena kedatangan Dahee yang tanpa suara.
Dahee menelan ludah, tiba-tiba wajahnya terlihat panik. Apa rambutnya sudah seperti nenek lampir sampai Namjoon meresponnya begitu tegang. Dahee berusaha merapikannya lagi. Ia mengusap pelan rambutnya dalam diam.
Seakan mengerti, Namjoon juga menghela nafasnya pelan. Baru saja ia memberi kesan buruk bagi wanita itu. Namjoon tersenyum lantas kembali pada aktivitas awalnya.
Begitu juga Dahee yang ikut terhanyut dengan udara segar sore ini. Ah, sebenarnya ia ingin merutuk. Rambutnya yang sudah ia tata sedari tadi itu tidak berguna lagi. Kali ini angin benar-benar jahat hingga menamparnya dan mengacak-ngacak penampilannya. Seluruh wajah Dahee sudah terbungkus lembaran rambut.
Namjoon tertawa halus begitu melihat wanita di sampingnya itu. Ia melipat lengan cardigan lalu melepas benda yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Ini, pakailah"
Dahee menoleh lantas mengernyit. Tak henti-hentinya gadis itu penasaran bagaimana seorang pria memiliki ikat rambut. Apa Namjoon sengaja membawanya.
"Tidak mau pakai?" Tanyanya lagi. Alisnya naik sebelah dan tangannya masih setia terulur.
Dahee sempat ragu, namun tak berapa lama dia menerimanya.
Tidak baik menolak pemberian orang, batin Dahee.
Setelah dirasa selesai. Dahee menatap cahaya kerlap kerlip itu lagi. Sepertinya dia terkesima. Terakhir kali ia datang kesana adalah dua tahun lalu dimana musim salju menyelimuti seluruh genting rumah disebrang sana. Ia tidak bisa menahan senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Man in Mind | Kim Namjoon
Fanfiction#NamjoonFanfiction "How can i hold any longer? No one else does" Ucap Dahee lirih seraya menunduk menatap tanah dibawah kakinya. "Everything goes" balas Namjoon sebelum akhirnya meraup kedua pipi Dahee dengan pelan takut jika kulit lembut pucat itu...