Gwon Yejin
University, 10:00 A.MKu hela napas begitu layar handphoneku tertera nama wanita tua itu. Demi tuhan! Jika saja dia bukan ibu kandungku, aku malas sekali mengangkatnya.
Aku sengaja tidak menyahut lebih dulu. Biar saja dia bersungut hingga dia rasa puas memoroti uang anaknya.
"Kau tidak merindukan ibu, sayang?" Akhirnya dia bicara.
Seketika senyum miring terbit di antara bibirku. Beginikah kasih sayang seorang ibu? Tolong katakan jika dia pernah merawatku dengan tulus.
"Aku sedang tidak punya uang" ucapku tanpa basa basi. Setidaknya dengan begini—wanita paruh baya itu tak perlu repot-repot menelponku dan menjatuhkan harga dirinya lagi.
Tak ada sepatah katapun yang keluar setelah itu. Hingga dia berdehem kecil.
"Eomma tidak meminta uang, eomma hanya ingin membicarakan hal penting. Satu bulan lagi eomma akan menikah"
Benar, seperti itulah ibuku sekarang. Sepeninggalan ayah, dia semakin menjadi-jadi terhadap pria dan harta. Dan jika kau pikir aku akan terpukul karena ibuku akan menikah lagi, jawabannya adalah tidak. Aku sudah sangat terbiasa ditinggal, dibuang, dan diperas oleh ibuku sendiri.
"Baguslah, setidaknya tidak perlu susah payah meminta uang padaku lagi"
Aku muak, dimana bagian dari hidupku satu-satunya harus berakhir gila dalam segala hal. Mungkin sebentar lagi aku pun akan ikut menggila sepertinya.
"Jaga bicaramu, Yejin. Eomma tidak pernah mengemis meminta uang padamu. Kau harus tahu apa itu balas budi"
"Ah, ya kau benar. Tidak seharusnya aku berkata begitu. Keadaan kita terlalu jauh hingga aku lupa jika kau masih ibu kandungku" sindirku.
Ku dengar dia mengerang tak suka, dan tak berapa lama sambungannya terputus begitu saja.
Lagi dan lagi aku hanya mampu menghela napas. Berandai-andai jika saja dulu, jika saja sekarang, jika saja nanti kehidupanku akan 'baik'. Aku tidak meminta lebih dari kata itu karena 'lebih baik' sudah hilang semenjak kakakku pergi.
***
Ku berjalan cepat begitu sampai di area halaman depan gedung universitas ini. Ada lelaki yang ku kenal baru saja lewat di tangga lobby depan.
"Minseo-ya?!" teriakku.
Si pemilik nama itu sontak menoleh. Wajahnya terlihat masam dan semakin masam begitu matanya melihat ke arahku.
Tak butuh waktu lama aku sampai di depannya. Ku pasang senyum semanis mungkin. Dan jangan katakan jika aku ini genit, aku tidak mungkin dapat berpaling dari pria bertubuh tinggi 186 cm ini.
"Apa? Aku buru-buru" kaki panjangnya melenggang cepat namun masih mampu aku cegat.
"Kau sudah sarapan pagi ini?" nada bicaraku dibuat seimut mungkin.
Oh tuhan, jika saja seseorang mendengarkanku bicara akan ku pastikan mereka muntah seketika. Tapi rupanya hal itu tidak berlaku bagi Minseo. Wajahnya lebih banyak menunjukan kengerian daripada sekedar muntah.
"Tolong jangan ganggu aku, urusi hidupmu sendiri. Minggirlah aku sedang buru-buru" ucapnya setengah putus asa.
Aku merengut, "bagaimana kau setega itu? Aku hanya ingin memastikan kau tetap sehat dan baik-baik saja".
"Terima kasih" ia tersenyum manis, "tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Tolong minggirlah" tegasnya.
Raut manis itu hilang begitu dia menggucapkan kata terakhir. Hingga akhirnya badan tinggi tegap itu lolos melewatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Man in Mind | Kim Namjoon
Fanfiction#NamjoonFanfiction "How can i hold any longer? No one else does" Ucap Dahee lirih seraya menunduk menatap tanah dibawah kakinya. "Everything goes" balas Namjoon sebelum akhirnya meraup kedua pipi Dahee dengan pelan takut jika kulit lembut pucat itu...