SEPULUH

13.9K 786 9
                                    

SEPULUH

Jam telah menunjukan pukul dua belas malam. Arum tidak bisa tidur malam ini. Dia merasa resah, dan gelisah. Arum bangkit dari atas tempat tidurnya, dan menuju kamar Alex yang berada tepat di samping kamarnya.

Arum membuka pelan-pelan pintu kamar Alex. Arum mengernytitkan keningnya bingung, melihat kamar anaknya yang terang. Padahal Arum telah mematikan lampu utama kamar anaknya tadi, dan menyalakan lampu temaram agar tidur anaknya lelap.

Arum melirik ke setiap sudut kamar anaknya, tidak ada apa-apa, bersih dari mainan anaknya yang biasanya berserakan. Mungkin anaknya tadi pipis, dan lupa mematikan lampu utama. Tapi Alex biasanya anak itu, walaupun pengen pipis paling malas menyalakan lampu, dan lebih memilih jalan dalam suasa yang lumayan gelap, di banding menyalakan saklar yang berada tepat di samping kepala ranjangnya.

Arum menggelengkan kepalanya, agar jangan mempermasalahkan hal tak penting seperti ini.

Arum melangkah dekat kearah ranjang. Lagi, kepala Arum menggeleng melihat bantal, dan selimut tebal anaknya yang tergeletak dengan mengenaskan di lantai.

Alex tipikal orang yang tidak bisa ada barang di dekatnya apabila tidur. Selimut saja akan di hempaskan oleh anak itu entah kemana. Begitupun dengan bantal-bantal empuk itu. Alex lebih suka tidur dengan kepala telanjang tanpa ada bantal yang mengganjal kepalanya.

Setelah menaruh bantal di kepala anaknya, dan membungkus tubuh tinggi itu dengan selimut, Arum mendudukkan pelan pantatnya di pinggir ranjang.

Tangan lentik putihnya, mengelus sayang punggung tangan Alex.

Manik abunya, menatap sedih kearah wajah pulas anaknya.

Kasian anaknya, anaknya nggak tau semua rahasia besar yang membuat papanya jarang pulang, dan jarang menemaninya.

Kasian anaknya, tidak mengetahui juga bahwa ada ibu lain yang ia miliki, walau bukan ibu kandungnya.

Kasian anaknya, tidak mengetahui kalau dia memiliki saudara, walau saudarahnya itu tidak lahir di rahim yang sama dengannya.

Kasian juga anaknya, karena selama sebelas tahun hidupnya tidak pernah anaknya itu bertemu langsung dengan kakek, dan nenek dari pihaknya.

Arum tersenyum kecut, di kala ingatannya mengingat tentang keluarganya di kampung.

Pasalnya, ibunya sampai sekarang masih tidak percaya kalau ayahnya sangat busuk di belakangnya, bahkan tega melakukan hal menjijikan itu dengan sepupunya sendiri.

Itu, yang membuat Arum sampai sebelas tahun lamanya, belum mau pulang di sana. Arum masih kecewa, dan sakit hati akan pengkhianatan yang di lakukan oleh papanya.

Keluarganya hanya tau, Arum menikah dengan seorang laki-laki yang sedikit mapan, dan sama-sama singel. Tidak tau kalau Arum menjadi korban pemerkosaan oleh majikannya lalu hamil, tidak tau kalau suami Arum, merupakan suami orang juga.

Hanya adik laki-laki Arum yang tau soal Arum. Adik laki-laki yang menjadi wali nikah Arum. Arum nggak mau papanya yang menjadi walinya. Arum masih sakit hati.

Papanya yang sedikit matre, tidak banyak tanya soal suami Arum. Pasalnya, Ibra selalu memanjakan keluarga Arum di kampung setiap bulannya, mengiriminya uang dalam jumlah yang lumayan banyak. Membuat semua orang di sana, menganggap kalau Arum sangat bahagia, dan hidup baik-baik saja di kota.

"Mama harap, Alex mau ikut mama nanti. Alex mau mengerti keadaan Mama, dan Papa, ya."bisik Arum pelan.

Arum telah memutuskan sesuatu yang besar untuk kelanjutan hidupnya, dan anak-anaknya.

Arum tidak mungkin akan terus-terus seperti ini. Arum lelah, Arum ingin bebas dari jerat Ibra yang selalu menyakitinya, dan anaknya, bebas dari segala ocehan keluarga Ibra, dan isteri pertama laki-laki itu. Arum ingin pergi sejauh mungkin dari hidup Ibra. Arum ingin hidup tenang, dan bahagia walau ia harus melepas, dan tidak bersama dengan orang yang cintai. Rasa yang ia miliki salah. Ibra telah menjadi milik orang lain.

"Mama mohon sama Alex. Alex akan memilih mama nantinya. Mama nggak berani membayangkan, apa yang harus mama lakukan lagi, kalau sampai kamu lebih memilih papamu nanti."bisik Arum sedih.

Lalu Aru mengangkat pelan punggung tangan anaknya, memberikan ciuman lembut penuh cinta di sana lama.

Arum meletakan kembali tangan anaknya di bawah. Manik abunya melirik kearah bingakai foto sedang yang berada di atas nakas. Foto yang berisi, ia, Ibra, dan Alex. Foto yang di ambil pada saat ulang tahun Alex yang ke delapan tahun.

Arum dengan tangan yang gemetar, meraih bingkai itu, lalu memeluknya erat. Setela puas memeluk, Arum menatap ketiga orang yang berada dalam bingkai itu lama.

"Kenapa harta, dan status menjadi patokan dalam menilai seseorang di dunia ini, mas?"Tanya Arum dengan nada terlukanya.

Ya, karena status, dan harta. Arum di tolak mentah oleh papa ibra, kakek anaknya. Dari dulu, sejak Ibra membawa ia ke rumahnya dengan tampilan sederhanya, ia langsung mendapat penolakan telak dari kakek anaknya. Sejak ia mengenakan seragam putih abunya sampai saat ini. Ia masih mendapat penolakan itu.

Rasanya nggak adil, hidup di dunia ini, apabila uang, dan materi yang menjadi tolak ukur kebaikan, dan kehebatan seseorang.

Puas melihat foto keluarga kecilnya. Arum dengan pelan, membalikkan bingkai foto itu. Dengan tangan yang gemetar. Arum membuka penutup bingkai itu. Tiga detik, Arum berhasil mengambil foto lainnya, yang berada di belakang bingkai itu, foto rahasia, yang tidak di ketahui oleh siapa-siapa.

Arum menatap sayang foto yang memampangkan sosok wanita cantik di dalamnya. Mata Arum berkaca-kaca seketika.

"Sayang. Mama rindu kamu. Pengen peluk kamu."Bisik Arum lirih, di ikuti setetes air matanya yang mengalir mulus.

Ceklek....

"Arumm..."Panggil sura itu serak.

Arum terlonjak dari dudukannya, lalu tangannya spontan membuang selembar foto yang berada di tangannya tadi sembarang.

Arum kaget, dan semakin kaget melihat orang yang memanggilnya barusan.

TBC!

29-08-2019-KAMIS

TUANKU SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang