DUA PULUH EMPAT

10.8K 627 5
                                    

DUA PULUH EMPAT

Arum menatap rumah minimalis di depannya dengan mata yang telah berkaca-kaca. Tarikan panjang dan hembusan panjang nafasnya di lakukan oleh Arum berkali-kali. Dadanya juga ikut berdetak tak normal di dalam sana, di iringi rasa sesak yang yang sangat menyakitkan, membuat Arum kesulitan bernapas saat ini. Mereka baru saja turun dari taksi, dan telah berada di depan rumah yang menjadi tujuan.

Di dalam rumah itu, ada seorang anak yang Arum tinggalkan dengan hati hancur, dan tak rela dulu. Hati Arum hancur, karena harus meninggalkan anaknya di usia yang masih sangat kecil, dan masih membutuhkan asinya, dulu.

Kepala Arum menggeleng kecil, ingatan masa lalu, membuat pertahanan Arum runtuh untuk tidak menangis. Arum tidak boleh menangis saat ini. Ada Alex di sampingnya, yang menggenggam erat tangannya, seakan takut dirinya akan meninggalkannya. Arum harus kuat untuk Alex, dan Abel. Arum adalah penopang utama untuk Alex, dan Abel, mengingat Ibra yang tidak mungkin dapat berperan sebagai seoarang ayah dalam kehidupan kedua anaknya.

"Mama...kenapa kita hanya berdiri di sini? Ayok masuk. Pasti teman mama lagi nunggu kita di dalam."Alex menggoyangkan lembut tangan mamanya, dan berujar dengan nada santai, dan percaya diri yang tinggi.

Arum terkekeh pahit, sifat Alex yang seperti ini, mengingatkan Arum akan Ibra, segalanya tentang Ibra. Rupa, dan kelakuan Alex semuanya mengikuti Ibra. Apa yang harus Arum lakukan? Arum ingin lepas dari jerat Ibra, dan segala hal yang berkaitan dengan laki-laki itu. Tapi setiap langkah Arum malah di bayangi oleh sosok Ibra dari anaknya Alex. Apa yang harus Arum lakukan? Apa ia, ia melepas Alex untuk Ibra. Arum pergi bersama Abel, hidup bahagia tanpa bayang Ibra lagi? Dengan merelakan Alex, dan membiarkan Alex tinggal, dan hidup bahagia bersama Ibra. Alex terlihat sangat mencintai Ibra, Papanya di banding dirinya.

Arum menunduk, menatap kearah Alex yang tengah menatap dengan cengiran khasnya.

"Maaf, Mama. Alex pasti anak yang kezelin, bikin mama marah. Sama percaya diri tinggi."Ucap Alex dengan nada menyesalnya.

Wajah mamanya keruh, bahkan merah kayak mau nangis gitu, Alex takut salah ucap barusan. Makanya Alex minta maaf.

Arum rasanya ingin menangis saat ini juga. Apakah mampu, dan ihklas dirinya melepas Alex untuk Ibra? Agar ia bisa hidup tenang, dan melupakan Ibra sepenuhnya. Arggg! Tidak! Pasti dirinya akan gila apabila Alex pergi dari hidupnya. Selama belasan tahun, Alex yang menjadi alasan Arum bertahan, dan semangat untuk hidup.

"Alex..."Panggil Arum serak.

Arum berdiri sejajar dengan Alex, dan menunduk serta merangkum lembut dagu Alex.

Alex menatap mamanya bingung, pasalnya, mata mamanya sudah merah bangat, dan air mata akan tumpah sebentar lagi.

"Ya, Mama. Mama kenapa? Jangan buat Alex takut!"Cicit Alex pelan.

Arum memberikan senyum lirihnya pada Alex sambil menggeleng kecil. Bahwa dia tidak'lah apa-apa.

"Mama mau nanya, Sayang."Ucap Arum serak.

Alex, anak itu mengernyitkan keningnya bingung. Sumpah, dadanya tiba-tiba berdetak cepat di dalam sana. Alex takut melihat raut wajah mamanya kali ini.

"Mama mau nanya apa sama Alex? Sumpah Mama, Alex nggak punya rahasia."Ucap Alex sambil menggeleng keras.

Alex takut lihat raut wajah mamanya. Tapi Alex nggak mau jauh atau menghindar dari mamanya, walau raut wajah mamanya nggak sedap di pandang saat ini.

"Misal, ni, ya. Mama sama Papa pisah. Alex mau ikut papa atau mama?"Tanya Arum dengan nada ragu- ragunya.

Bruk!

"Nggak mau! Itu nggak akan terjadi!"Alex membanting kresek snacknya kasar, lalu berteriak kencang sekali, dan berlari meninggalkan Arum yang terpaku kaget di tempatnya.

Arum menahan tangisnya sebisa mungkin! Ini sangat rumit! Bagaimana cara Arum menghadapinya?

Arum menatap nanar kearah Alex yang berlari lurus masuk ke dalam rumah Raja.

"Mama harap kamu mau mengerti, Sayang. Mama yakin kamu sudah besar."Ucap Arum lirih.

Arum ingin jujur sama Alex, bahwa mereka pergi karena ia, dan Ibra akan berpisah. Arum nggak punya alasan logis lainnya yang dapat ia berikan pada Alex apabila mereka terlalu lama pergi dari rumah, dan Ibra.

Alex pasti akan bertanya, 'kapan kita pulang mama? Nanti papa marah kayak dulu. Alex juga sudah rindu berat sama Papa"Begitulah kira-kira pertanyaan, dan pernyataan yang akan Alex lontarkan padanya nanti.

Nggak ada pilihan lain. Kepala Arum mau pecah rasanya. Arum nggak mau Alex sakit hati, tapi sepertinya hati anaknya akan tergores, dan Arum adalah ibu yang bodoh. Tidak tau caranya agar hati Alex tidak tergores oleh kenyataan yang tidak anak itu tau selama ini.

****

Ibra menatap marah kearah Beni yang terlihat menunduk dalam kearahnya.

"Aku tanya sekali lagi, dimana anak, dan isteriku Beni?"Tanya Ibra dengan geraman tertahannya.

Rasanya Ibra ingin meninju habis wajah Beni saat ini. Tapi usia Beni yang telah parubaya membuat Ibra menahan dirinya sebisa mungkin agar jangan berlaku tak sopan pada seseorang yang seumuran papanya.

"Maaf Tuan. Empat hari yang lalu, saya mengantar Nyonya Arum sama Den Rangga ke gili trawangan sampe penyebrangan."Ucap Beni takut.

"Terus?"

"Dimana mereka sekarang? Kalian nggak pulang bareng? Kamu nggak nunggu anak sama isteri saya selesai main-mainnya? Gitu maksud kamu?"Ibra menggertakkan giginya menahan amarah.

Sial! Sudah di wanti, jangan sesekali mengajak Alex pergi jauh dari rumah. Tapi Arum membangkang, bahkan Arum membawa anaknya ke dalam pusaran bahaya. Pergi ke gili trawangan, yang harus menyebrang dulu baru sampai di sana. Bagaimana bila terjadi gempa dadakan? Sial, sial, sial! Ibra nggak berani membayangkan hal itu. Sangat mengerikkan!ebutkan pengguna

"Nyonya Arum mengatakan bahwa ini adalah perintah dari Tuan. Hanya mengantar saja, karena Tuan akan menyusul. Bahkan ponsel saya di ambil sama Nyonya Arum. Pinjam katanya, tapi saya di kasih uang agar beli ponsel yang baru."jelas Beni lagi dengan nada yang masih takut-takut.

Pasalnya wajah Ibra sudah merah padam di depannya. Beni takut, Tuannya akan serangan jantung atau darah tinggi tiba-tiba.

"Pantas saja nomor kamu juga tidak aktif. Bodoh!"bentak Ibra kasar.

Beni berjengkit kaget di tempatnya.

"Saya mohon maaf, Tuan."

"Sial!"

"Kamu bawa Alex di mana, Arum?"Tanya Ibra frustasi.

Bahkan nomor ponsel anaknya tidak aktif. Jari Ibra hampir lecet, mencoba menghubungi Alex berkali-kali tadi, selama dirinya menunggu kedatangan Beni tadi, yang ternyata sudah empat hari tidak melihat aktifitas anak isterinya.

"Bawa aku ke gili trawangan."Ucap Ibra lemas kali ini.

Dirinya seakan tidak ada tenaga, fisiknya seketika lemas. Ibra bahkan merasa pusing saat ini. Kepalanya berputa-putar, memikirkan dimana keberadaan Arum sama Alex saat ini.

"Papah aku, Beni. Rasanya aku mau mati!"Ucap Ibra sambil mengurut kasar keningnya. Kepalanya terasa sangat pusing, dan berat.

Rasa pusing semakin melanda dirinya, membuat pengelihatannya perlahan tapi pasti semakin menipis. Kabur, dan oleng, lalu tiga detik kemudian, tanpa Beni duga,

Majikannya limbung bahkan terjatuh di lantai mengenaskan sebelum tangan tuanya melaksanakan perintah sang Tuan agar memapah dirinya.

TUANKU SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang