Happy reading ♡
~♥~
Renjun mengembuskan napasnya berat, entah sudah berapa kali ia melakukan itu untuk menetralisir rasa gugup di hatinya. Ia melirik sekilas arloji yang melingkar ditangannya.
"20 menit lagi", ia bergumam.
Tiba-tiba saja ia menjadi sangat sangat gugup hingga tak tahu harus berbuat apa. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengelus dadanya, meminta sang jantung agar kembali berdetak secara normal. Ia tidak sadar sedang diperhatikan oleh pemuda berbalut setelan jas hitam di sebelahnya.
"Apa anda gugup, Tuan?", ujar pemuda dengan setelan hitam, tersenyum.
Renjun menoleh cepat, kemudian menggeleng berbohong. Padahal semua sudah jelas tergambar di raut wajahnya. Bagaimana kegugupannya itu membuatnya terlihat kembali hidup, setelah sekian lama tak merasakannya.
Ia kembali membuang napas, menjatuhkan kepalanya pada sandaran kursi. Matanya menerawang jauh keluar jendela, menatap gulungan awan putih yang berjajar rapi. Mengingat kembali kejadian saat sang kakek terus menerus membujuknya untuk pulang ke tempat yang mungkin tak bisa ia sebut 'rumah' lagi.
Ia sendiri tak mengerti kenapa ia bisa menyerah begitu saja dan meninggalkan sang kakek seorang diri di Canada. Renjun pikir ia sudah lelah menolak tiket penerbangan yang entah sudah berapa kali dikirim oleh sang papa kepadanya. Apalagi kemarin sang papa sampai mengirim pemuda bersetelan jas hitam itu untuk menjemput dan membawa Renjun pulang.
Renjun sudah kehabisan kata untuk menolak, berakhir dengan ia yang kini sudah duduk di kabin pesawat yang sebentar lagi akan landing setelah melakukan penerbangan selama 18 jam. Ia membuang napas lagi, rasa gugup dalam dirinya sudah tak terkendali. Dalam hati ia berkata, "Selamat datang di neraka, Ren".
Sebuah mobil BMW berwarna putih merapat setelah Renjun melewati pintu keluar bandara dengan menyeret koper di tangannya. Sebenarnya pemuda dengan setelah jas hitam itu sudah menawarkan diri untuk membawakan koper miliknya, tapi Renjun menolaknya sopan dengan dalih ia bisa melakukannya sendiri.
Kini ia sudah duduk di kursi penumpang setelah meletakkan kopernya di bagasi. Sementara pemuda dengan setelan jas hitam itu duduk di sebelahnya, tepat di belakang supir.
"Tuan Hwang bilang, beliau sudah menunggu anda dirumah, Tuan", ujar si pemuda dengan setelan jas hitam, mengulum senyum.
Sementara Renjun hanya terdiam, tak berniat menggubris pernyataan pemuda yang menurutnya terlalu banyak bicara itu. Bagaimana tidak, ia selalu saja mengoceh sejak dari Canada, padahal Renjun tak pernah benar-benar menjawab apa pun perkataannya. Ia hanya akan diam saat tidur saja, begitulah yang Renjun lihat.
Renjun menolehkan kepalanya, mendapati sebuah alat yang sudah terpasang pada telinga pemuda dengan setelan jas itu.
"Apa kau bisa bicara padanya dengan alat itu?", Renjun bertanya.
Melihat itu si pemuda dengan setelan jas menggangguk antusias. Ia senang akhirnya bisa membuat Renjun bersuara setelah hampir seharian mereka bersama dan Renjun terus saja diam saat diajak bicara.
"Kalau begitu katakan padanya, bahwa aku sudah sampai di neraka ini dengan selamat!!", Renjun berujar dingin, membuat pemuda itu tertegun. Terkejut dengan ucapan Renjun yang dinilainya cukup kasar, apalagi ia bicara seperti itu untuk sang papa.
Renjun memasang wajah dinginnya sembari kembali menatap langit biru diluar jendela. Ia tak peduli dengan ekspresi pemuda di sampingnya yang sudah berubah menjadi segan sejak ia mengeluarkan kata-katanya yang penuh dengan kekesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta √
Fanfictionft. 黄仁俊 ; 황 런쥔 ❝coba jelajahi polanya, yang mengawang antara pelik dan bahagia❞ ❨ fantiction | school life ❩ ps : typo bertebaran, bahasa semi baku, maafkan jika terjadi kesalahan karena semua yang ada di cerita ini hasil pemik...