Tiket Penerbangan

414 108 69
                                    









~♥~


Laki-laki itu, Hwang Renjun, mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh, membelah jalanan kota Vancouver yang ramai dengan hiruk pikuk dan lautan manusia.

Menyelip, mengendarai secara zig zag, tampak sekali laki-laki itu sudah sangat ahli dan hafal betul lingkungan serta kehidupan di tanah kelahiran mamanya.

Berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar besi berwarna hitam, kemudian laki-laki itu menuntun sepedanya memasuki pekarangan rumah.

Rumah yang cukup besar, bernuansa klasik dengan cat serba putih, cukup mewah dan elegan. Walau tak memiliki dua lantai, tapi rumah itu cukup luas untuk ukuran rumah pada umumnya.

“Sudah pulang?”, bias suara ringkih itu kembali menyapa pendengarannya saat tangannya baru saja bergerak menutup pintu utama rumah.

Membuatnya tersenyum tipis sebagai jawaban sebelum memutuskan untuk memasuki kamarnya.

Renjun menghela, membuka kancing teratas seragamnya yang sebenarnya sedikit membuatnya sesak. Meletakkan tas pada meja belajar di sudut ruangan, lantas melangkah mendekati ranjang berukuran king size yang berada di sebelah lemari pakaian yang begitu besar.

Laki-laki itu kemudian menghempas tubuhnya ke atas sana, menghembuskan napasnya ke udara. Sepasang irisnya itu menatap langit-langit kamar, menerawang jauh memasuki dunia kecil yang diam-diam ia semogakan di kehidupan nyata.

Matanya mengerjap beberapa kali. Tersadar dengan janji sang kakek saat bertemu di sekolah tadi, ia kembali bangkit. Lantas melangkah keluar kamar, mencari sang kakek yang tengah terduduk santai di sofa di ruang kerjanya dulu.

Pria tua yang menyadari kedatangan cucunya itu kemudian bergeser, lantas menepuk sofa di sebelahnya. Renjun yang mengerti maksud sang kakek hanya menghela, melangkahkan kaki mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah kakeknya.

“Jadi?”, pria tua itu bersuara, setelah mendengar helaan berat dari sang cucu yang masih bungkam di tempatnya.

Karena jujur saja, Renjun agak bingung harus bertanya mulai darimana? Apa pula yang harus dipertanyakan disini? Ia harus segera pindah, setidaknya itu yang dia tahu. Perihal alasan dan kemana ia harus pindah, rasanya ia tak ingin bertanya lebih jauh. Inginnya sang kakek peka untuk menjelaskan semuanya tanpa ia bertanya. Lihat, betapa angkuh dan gengsinya laki-laki ini.

Renjun mendesah lagi, menyadarkan punggung dan kepalanya pada punggung sofa yang empuk.

“Kurasa aku tak perlu bertanya lagi kan, kek? Perihal datangnya kakek ke sekolahku”, laki-laki itu bersuara dengan mata terpejam dan tangan yang terlipat di depan dada.

Astaga ingin rasanya meneriaki laki-laki itu untuk lebih sopan pada kakeknya sendiri.

Namun, tampaknya sang kakek sudah sangat terbiasa dengan tingkah Renjun yang arogan itu. Terbukti dari senyum yang kini terlukis di wajahnya yang sudah  keriput, ia tampak memaklumi semua hal yang ada dalam diri cucunya.

Melihat Renjun yang masih memejamkan mata, lantas tangan pria tua itu bergerak mengusap surai dark silver milik sang cucu. Membuat cucunya itu kembali membuka mata sembari membuang napasnya lagi ke udara dengan pasrah.

“Kemana kita akan pindah?”, Renjun akhirnya bersuara setelah sekian lama membungkam mulutnya.

Padahal sesunguhnya otaknya tengah berpikir keras, memikirkan segala kemungkin terburuk dan terbaik perihal kemana ia akan dipindahkan. Ia sendiri masih belum mengerti, ‘pemindahan’ disini hanyalah untuknya saja atau ia akan pindah bersama sang kakek. Meninggalkan Vancouver, meninggalkan Kanada atau bahkan meninggalkan benua Amerika.

Kakeknya terdiam, kemudian mengembuskan napas dengan berat. “Hanya kamu yang akan pindah, nak. Aku tidak, aku tetap disini”, pria itu bersuara dengan lembut.

Membuka matanya cepat, Renjun lantas menyamankan posisi duduknya. Punggung dan kepala sudah tak bersandar lagi pada sandaran kursi, ia duduk dengan sedikit membungkuk kini. Memiringkan sedikit badannya agar nampak wajah sang kakek dengan jelas.

Anak itu membelalak, terkejut. Menatap kakeknya yang agaknya harus memberikan penjelasan lebih detail perihal maksud ujarannya beberapa detik lalu. Namun, bukannya menjelaskan dengan gamblang, tangan pria tua bergerak menyodorkan sebuah amplop cokelat berukuran besar ke hadapan sang cucu. Membuat anak muda di sebelahnya itu menghela lagi dengan keras.

Renjun sungguh tak habis pikir, untuk apa pula kakeknya itu bersikap misterius seperti sekarang, sangat berbeda dari biasanya. Ah ia lupa bahwa dia sendiri juga sangat misterius di mata teman-teman sekolahnya. Tak ada yang tau asal-usul laki-laki itu selain fakta bahwa dia memang memiliki darah Korea dan Kanada. Dan jangan lupakan juga fakta bahwa laki-laki satu ini sungguh angkuh dan arogan.

“Apa ini?”, Renjun bertanya dengan datar, setelah melirik amplop itu sekilas. Kentara sekali bahwa tangannya masih tak berniat menyentuh amplop yang rupanya sedikit kusut itu.

“Paspormu, juga tiket penerbanganmu ke Korea, nak”








***











Tadi udah janji sama salah satu readers buat up dua chapter sekaligus. Jadi, yaaaa semoga kalian suka. Jangan lupa vote dan coment manteman ❤







@hinjn
@hd117618

Semesta √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang