Gagal Menyatakan

97 22 134
                                    

Gelak kardianya meluap-luap, tampak tak sabar menjemput si gadis sesuai janji yang telah diucap. Ada rasa girang yang membuatnya ingin terlonjak saja, namun kemudian sadar hal itu akan membuatnya terlihat seperti orang gila.

Langkahnya melebar ke luar kamar, memburu waktu untuk lekas bertemu dengan gadis pemilik netra berbinar. Ulasan senyum tipis dengan jelas tergambar, disempatkan menyapa beberapa maid yang berada di sekitar.

Tuan muda satu itu tidak sadar, kalau-kalau kini hampir semua maid mengalihkan atensi padanya, tak percaya dengan senyum yang mereka lihat, juga pada sapa yang mereka dengar. Aneh.

Mengingat bagaimana mulut pemuda itu yang menempel rapat, ketika bersuara malah ketus hingga membuat gentar jagat. Bagaimana bisa dalam semalam ia berubah menjadi orang yang bersahabat? Tidak masuk akal jika diingat-ingat.

Ah, tapi tahu tidak, apa yang membuat pemuda Huang begitu senang hari ini?

Pertama, tentu saja alasannya adalah akan bertemu Kim Nina. Kedua, coba tebak —






















































bisa menebaknya??






















































— jawabannya, pagi tadi ia mendapat kabar bahwa Haejin yang akan angkat kaki dari rumah. Senangnya~

Choi Saera — ibu sambungnya sendiri yang mengatakan padanya kalau Haejin akan dikirim ke Australia untuk kembali mengenyam pendidikan di sana.

« sebelumnya

"Papa dan Mama sudah memutuskan untuk mengirim Haejin ke Australia, dia juga sudah setuju, jadi kau jangan pindah ke apartment, ya?" begitu ujar si wanita paruh baya lepas menghela napas samar.

Huang Renjun mengangguk kecil lantas menarik sudut bibirnya.

"Mama percaya padamu, mama tahu Haejin sudah melakukan kesalahan yang fatal dan mungkin kau belum bisa memaafkannya."

Renjun mengangguk lagi, "Terimakasih sudah percaya padaku, Ma."

Choi Saera tertegun, sedikit tak menyangka akan panggilan yang Renjun lantun. Tetiba jadi linglung, perasa hatinya meledak tak beratur. Ada begitu banyak kesenangan yang datang berhambur.

"Tadi kau panggil aku apa?" tanya si wanita memastikan.

Helaan berat pemuda Huang meluruh samar-samar. Tak jauh berbeda, lubuk hatinya terasa bergetar. Sebenarnya ia tidak tahu, apa yang saat ini ia lakukan adalah benar? Menerima wanita paruh baya itu sebagai pengganti sosok sang Mama yang telah lama meninggal.

"Mama. Atas dasar rasa hormatku, mulai saat ini aku akan memanggilmu begitu." ujarnya setelah berhasil membungkam ego agar tak terus meneriakinya dengan ledakan emosi.

Jelasnya kini perasaan pemuda itu telah campur aduk, ada lega, kesal dan setitik rasa tak berbentuk. Sepintas ia melirik pada wanita di singgung, ternyata Saera tengah mengusap peluh yang meluncur dari pelupuk. Wanita itu menangis haru bersamaan dengan mengembangnya senyum oleh labium.

» —

"Kim Nina?!"

Pijak pemuda Huang memelan tatkala telinganya menangkap pekik suara yang mengelukan nama si gadis jelita. Samar-samar terdengar bincang dari arah ruang tamu di depan, lekas pijaknya diburu menyusul gelak tawa yang turut meredam.

Semesta √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang