Pelukku Untuk Pelikmu [special]

200 16 177
                                    

Berpijak tepat pada pekan ke dua dengan bergulirnya waktu tanpa jeda. Secepat kilat melesat di naungan dirgantara, pula mendapat sepenuhnya izin dari pencipta, memberikan awan mendung yang agaknya turut tak terima perkara duka gadis berasma Kim Nina, yang baru saja keluar dari apotek dengan satu kantung plastik kecil di tangannya.

Isinya, obat merah, kapas serta plester luka.

Huft, awalnya ia pikir menjauh dari pemuda yang menjadi bahagianya akan mudah saja. Pun dengan harap fisiknya tak harus selalu mendapat luka akibat perlakuan teman-temannya. Ternyata semuanya tak jauh berbeda, gadis mungil itu tetap menjadi sasaran empuk bagi pukulan atau cemoohan berbagai macam makhluk tak berhati berwujud manusia.

Lebih jelasnya, beberapa luka gores sudah menghiasi wajah elok si gadis. Satu di pipi kiri, satu di pelipis. Selebihnya di lutut dan siku yang buat meringis. Buruknya lagi, pihak sekolah tidak mengetahui apa yang ia alami. Entah memang tidak mau tahu atau tak ada laporan yang masuk sama sekali. Ya karena nyatanya insiden bullying itu tak selalu dilakukan di area sekolah, sungguh miris.

Mengesampingkan fakta-fakta yang lainnya, gadis itu kini menengok hulunya. Mencari keberadaan si pemuda yang pergi bersamanya tapi malah menghilang tiba-tiba. Kemana dia? Padahal hanya ditinggal ke apotek sebentar saja.

Kini langkahnya memelan selepas mendapati sosok wanita yang tetiba berdiri menghadang tak jauh di depan. Seulas senyum merekah di wajahnya yang tampak menerus pandang pada si gadis bernetra legam. Gadis yang surainya terikat sembarangan itu menoleh ke kanan kiri mana tahu bukanlah dia yang menjadi objek tatapan.

"Kim Nina, kan?" Tanya wanita yang usianya hampir mendekati setengah abad walau guratnya masih terlihat lebih muda.

Gadis Kim mengangguk ragu selepas langkahnya terhenti beberapa detik lalu. Sepasang maniknya menilik jeli dari pucuk surai wanita itu hingga ke dasar sepatu. Lantas di detik ke tiga ia mulai mengenali si wanita yang berbalut kardigan biru.

"Aku Choi Saera, Mama Renjun."

Ah, benar ternyata.

Nina kembali mengukir garis labium dengan canggung, membalas sapaan si wanita yang masih mempertahankan senyum lembut. Setidaknya kegiatan bergeming itu berlangsung sekian sekon hingga terdengar suara lain tanpa disambut.

"Nin, sudah selesai?" Pemuda pemilik marga Na bertanya, pijaknya menyerong ke arah Kim Nina. Ujung netranya tiada ragu melirik wanita yang ia pikir asing lantas menggumam pada batinnya, siapa?

Si gadis memilih bergumam sebagai jawab, selepasnya menggulir netra pada Choi Saera lalu membungkukkan awak, bermaksud undur diri dari hadap. Mengingat tadi ia pergi dengan Jaemin, jadi ia harus kembali bersama pemuda itu pula saat pulang, bukan?

"T-tunggu aku ingin bicara sebentar."

"Tapi—"

"Tak apa, aku akan menunggu di halte sana. Permisi tante." Sergah Pemuda Na berlalu dengan terburu, berjalan ke arah halte yang ia tunjuk saat itu. Gontai tungkainya mengalun bersamaan dengan surai kemerahannya yang meliuk di tiup sendalu.

.

.

.

.

.

.

"Ini tentang Renjun," begitu kata si wanita, membuka perbincangan di sore bersama awan medung yang terbentang di langit kota.

Hulu mengangguk samar dengan pandang netra berbinar, kiranya tabungan rindu gadis itu kentara terumbar. Ah, tapi rasa bersalah miliknya jauh lebih besar. Timbang meretas nyatanya perasaan itu semakin mengakar.

Semesta √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang