Bab Satu

15.7K 1K 223
                                    



Gelap.

Sebanyak apa pun gadis itu mencoba, ia tak mampu melihat satu pun benda di sekelilingnya. Ia hanya mampu merasakan ujung rambut pirang bergelombangnya mengenai pipi mulusnya.

Takut.

Mungkin itulah yang ia rasakan di tengah kegelapan ini seakan-akan mereka siap menelan gadis itu bulat-bulat.

Aneh.

Namun, di tengah kegelapan itu ia masih bisa mendengar suara. Bukan suara yang menenangkan hati, tapi suara pertempuran. Puing-puing bangunan yang jatuh dan suara teriakan yang sepertinya berasal dari seorang perempuan menggema di telinganya. Meski samar, ia menduga kalau wanita bertubuh langsing yang berada di depannya sedang merapal mantra. Anehnya, ia merasa tenggorokannya kering seolah dialah yang sedang merapal mantra itu.

Hangat.

Mungkin keanehan kedua yang dirasakan oleh si gadis. Sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhnya yang hampir sedingin es. Ia bisa merasakan bahwa kehangatan itu berasal dari sebuah telapak tangan besar dan kokoh yang sedang menyentuh wajahnya. Siapa pemilik tangan itu?

***

Seseorang bertubuh tinggi berjalan melalui hiruk-pikuk kota. Di balik jubah bertudung cokelat miliknya, ia menundukkan kepalanya dan terkadang menutupi setengah wajahnya. Tentu saja ia melakukan itu untuk menutupi identitas aslinya. Ia tidak ingin identitasnya terbongkar di kerajaan asing.

Sebenarnya dia tidak memiliki niatan untuk mengunjungi kota. Ia hanya ingin berburu sembari meningkatkan kemampuan berpedangnya di tengah hutan yang memang berada tepat di antara kerajaan tempatnya berasal dan kerajaan ini. Namun, tiba-tiba dia mendapat perintah dari rajanya untuk menggantikan kehadirannya. Bukan untuk menemui raja di kerajaan ini, melainkan putrinya. Ya, dia diminta untuk menghadiri acara pertunangan dengan putri kerajaan yang identik dengan warna merah dan simbol singa, Kerajaan Clarion.

Pertemuan yang ia datangi dengan setengah hati ini tidak berjalan lancar. Putri kerajaan, Sierra Elsburg sedang berada di garis terdepan, memimpin pasukannya dalam pertarungan antara Kerajaan Clarion dan Kerajaan Noines. Mendapati acara pertemuan dengan calon tunangannya yang gagal membuat perasaannya campur aduk. Jujur, ia merasa lega karena dia masih bebas memilih calon istrinya, tetapi di sisi lain laki-laki itu juga merasa kecewa karena tak bisa mempersunting gadis tercantik di kerajaan ini.

"Ah, mungkin dia tahu hadiah yang kubawa. Makanya dia menolakku," gumam laki-laki itu yang saat ini berada di tengah perjalanannya kembali ke hutan.

Seperti bangsawan atau laki-laki lain yang datang untuk meminang seorang gadis, tentu saja dia membawa buah tangan atau hadiah sebagai langkah untuk memikat calon istri mereka. Ia tidak membawa perhiasan ataupun kain sutra, melainkan sepasang busur dan anak panah yang ia beli dengan harga murah di toko persenjataan. Yah, kalau memang benar putri itu menolaknya karena hadiah yang dibawanya, tentu saja ia harus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak membawa hadiah yang lebih bagus.

Hari semakin larut. Saat ini langit sudah sepenuhnya berwarna hitam pekat. Tidak seperti beberapa jam sebelumnya, gumpalan awan berkumpul di langit menutupi sinar rembulan dan bintang. Hawanya yang dingin menusuk kulit serta suasana kelam membuat laki-laki itu merasa tak nyaman.

"Sepertinya akan ada sesuatu hal yang terjadi," gumamnya sembari menatap langit malam dengan kedua matanya yang berwarna biru. "Aku harus segera mencari tempat peristirahatan."

***

Angin berembus kencang sampai mampu menerbangkan ratusan helai daun dari tangkainya. Laki-laki itu terbangun dari tidurnya. Bukan karena suara angin kencang yang menerpa badannya, melainkan ia mendengar suara gemrisik tak jauh dari bawah pohon rindang tempatnya bernaung.

Dengan langkah hati-hati sembari mengeluarkan pedang berwarna hitam dari sarungnya, ia berjalan ke arah di mana suara itu berasal. Angin kembali menerpa tubuhnya sampai mampu menyibakkan tudung jubah dan membuat rambut hitam lurus berantakannya terlihat.

Kedua matanya yang sebiru laut melebar begitu melihat seorang gadis berambut pirang bergelombang tergeletak tak berdaya tak jauh dari lokasinya tidur tadi. Gaun putih dengan motif bunga azalea berwarna merah muda yang dikenakannya sudah kusam, penuh robekan, dan cipratan darah. Di samping tubuh rampingnya, laki-laki itu bisa melihat sebuah pedang yang tersimpan di sarung pedang berwarna emas serta sepasang busur dan panah.

Untuk beberapa detik, laki-laki itu terlihat ragu. Ia ingin menolong gadis yang sedang terluka ini, tapi ada bagian dari dirinya yang tidak yakin kalau darah yang ada di pakaian gadis itu adalah miliknya. Bisa jadi itu adalah darah orang lain yang dengan sengaja dibunuh untuk melindungi dirinya sendiri. Namun, pemikirannya lenyap seketika begitu melihat luka lebar di perut gadis itu. Ia langsung bergegas menyarungkan pedangnya kembali dan mencoba membangunkan si gadis sembari menyembuhkan lukanya.

"Hei," laki-laki itu mencoba membawa kesadaran gadis itu kembali sembari menggoyangkan lengan kanannya. "Hei, bangunlah."

Gadis itu perlahan membuka kedua matanya yang berwarna hijau emerald. Untuk sepersekian detik, laki-laki itu terbius akan tatapannya yang sebinar batu permata.

"Apa kau baik-baik saja?"

Mendapat pertanyaan dari laki-laki itu, si gadis hanya menatap balik dengan tatapan bingung.

"Kau terluka," kata laki-laki itu seakan menjelaskan kondisi si gadis. "Apa kau baru saja bertarung dengan sesuatu?"

Gadis itu menyentuh wajahnya lalu melihat ke arah gaunnya yang berwarna merah di beberapa bagian. Laki-laki itu menghela napas. Helaan napasnya sepertinya cukup keras sampai membuat gadis itu kembali menatapnya bingung.

"Ok, aku paham. Mungkin kau takut memperkenalkan diri ke orang asing sepertiku," katanya. Laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Dan. Siapa namamu?"

Gadis itu menatap uluran tangan laki-laki bernama Dan dengan bingung. "Namaku?" Suaranya terdengar lirih dan lemah. "Aku tidak tahu."

***

Jilid I. Celena and The Born of New Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang