Bab Dua Puluh Dua

1.5K 306 43
                                    

Celena menatap semua hidangan yang tertata rapi di meja makan. Daging, sup, roti, buah, puding, dan beragam kue kecil tersedia. Gadis berambut pirang itu bahkan sampai kebingungan harus memulainya dari mana.

"Semua bahan makanan ini diambil dari hasil pertanian di sini," kata Carolus ramah. Ia lalu melempar seulas senyum hangat ke Celena. "Jadi, jangan sungkan-sungkan. Kau tidak akan mendapatkannya di tempat lain."

"Ah ... iya. Terima kasih untuk jamuannya," balas Celena lalu mengambil garpu dan pisau.

"Bagaimana perjalananmu tadi?" tanya Carolus sebelum memasukkan satu irisan daging berukuran kecil ke mulutnya.

"Lumayan lancar walaupun tadi sempat salah jalan," jawab Celena. Gadis itu mengiris daging steak-nya kecil-kecil. "Tadi saya melihat Tuan di Wade."

Alis Carolus terangkat sebelah. "Benarkah?"

"Aku melihat Tuan sedang membantu memasang bata tadi."

"Kenapa kau tidak memanggilku? Kalau tahu tadi kau sudah datang, kita bisa ke rumah bersama."

Celena menggeleng pelan. "Tadi aku baru saja datang. Jadi, tidak enak kalau langsung pulang tanpa membantu mereka terlebih dahulu."

"Begitu rupanya," timpal Carolus lalu tersenyum.

"Aku tidak melihat istri Tuan. Apakah beliau sedang pergi?" tanya Celena. "Tadi Alexander juga menolak masuk. Kenapa dia tidak makan malam bersama kita? Apa Alexander tinggal terpisah denganmu?"

Pria paruh baya itu menatap Celena sendu. "Istriku sudah meninggal lima tahun yang lalu karena sakit."

Kedua mata berwarna hijau emerald itu langsung melebar. Celena langsung menundukkan kepala sebagai bentuk permintaan maafnya. "Ah, maaf jika ucapan saya telah menyinggung perasaan Tuan."

"Tidak apa-apa," kata Carolus sambil menggeleng pelan, "lagipula istriku sudah meninggal cukup lama. Jadi, aku sudah terbiasa. Sudah angkat wajahmu, kau tidak melakukan kesalahan apa-apa."

Celena mengikuti ucapan Carolus meskipun dia masih menatap pria paruh baya itu sungkan.

"Kalau Alexander, akhir-akhir ini dia banyak pekerjaan. Ya ... wajar itu sudah tugasnya sebagai kepala pasukan. Selain melatih prajurit di sini, dia juga sering mengurus bagian administrasi," jawab Carolus. Ia lalu meminum anggurnya kembali. "Lain kali kita makan malam bertiga."

Celena hanya tersenyum lalu kembali memakan dagingnya.

"Oh iya, hampir kelupaan. Aku ada hadiah tambahan untukmu," kata Carolus. Pria paruh baya itu lalu menggoyangkan bel beberapa kali.

Seorang pelayan wanita memasuki ruang makan sambil membawa sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Pelayan itu lalu meletakkan kotak itu di samping tangan kanan Celena.

"Bukalah."

Celena menuruti ucapan Carolus dan membuka kotak berwarna merah itu. Sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk oval berwarna merah.

"Saya tidak bisa menerima hadiah ini, Tuan. Kalung ini terlihat sangat mahal dan saya tidak pantas menerimanya," tolak Celena halus.

Carolus menggeleng. "Kalung itu melambangkan keberanian, sangat cocok untuk orang pemberani sepertimu," bantahnya. Ia lalu menatap pelayan wanita yang berada di belakang Celena. "Tolong bantu pakaikan kalung itu."

Pelayan itu mengangguk lalu mengambil alih kotak berisi kalung dari tangan Celena. Wanita itu mengambil kalung dari kotak, membuka pengaitnya, dan langsung memasangkannya ke leher Celena.

"Hm ... terlihat sangat cocok denganmu, Celena," komentar Carolus sambil menatap kalung yang sudah melingkar indah di leher Celena.

Gadis berambut pirang itu menundukkan kepala. "Terima kasih untuk hadiahnya, Tuan Carolus. Saya tidak tahu harus dengan apa membayar kebaikan Tuan."

Jilid I. Celena and The Born of New Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang