Bab Dua Puluh Enam

1.5K 299 35
                                    

Celena mengayunkan pedang kayunya ke arah boneka kayu yang ada di halaman belakang istana. Boneka kayu itu sudah menemani malam Celena selama sekitar dua minggu ini. Selain ikut membantu melatih prajurit istana bersama Dan, diam-diam Celena juga mengasah kemampuannya. Ia tidak bisa bersantai-santai karena perang saudara sekaligus perang kudeta ini sudah semakin dekat.

Perlahan, satu per satu peluh turun dari dahinya. Malam ini ia sudah mengayunkan pedang pada boneka kayu itu sebanyak lima ratus kali. Ia masih harus melakukan itu sebanyak lima ratus kali lagi, tapi untuk saat ini Celena ingin mengistirahatkan tubuhnya sebentar.

Gadis berambut pirang itu lalu berjalan menuju bangku taman terdekat. Ia menyandarkan pedang kayu berwarna cokelat muda ke bangku itu sebelum duduk dan menyandarkan punggungnya. Ia memejamkan kedua mata dan menikmati angin musim dingin yang menerpa tubuhnya.

Sensasi dingin yang terasa di pipi mulusnya membuat Celena sedikit terperanjat. Gadis itu menoleh ke belakang dan menemukan Dan berdiri dengan senyum lebar di wajah.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Dan santai dan tanpa merasa bersalah.

"Aku sedang istirahat sebentar setelah latihan tadi."

"Latihan malam-malam begini?" tanya Dan sambil berjalan ke depan.

"Iya," jawab Celena sambil menggeser posisi duduknya untuk memberi tempat bagi Dan duduk.

"Ini," kata Dan. Laki-laki itu menyerahkan gelas berisi cairan berwarna oranye. "Jus persik."

"Apakah aku perlu merahasiakan ini lagi?" tanya Celena seraya menerima gelas itu.

"Tidak perlu. Kali ini aku memintanya secara baik-baik kok," jawab Dan membantah, "lagipula, sekarang koki istana memperbolehkan semua orang untuk mengambil makanan di luar jam makan karena mereka tahu kalau kita membutuhkan asupan makanan lebih."

Celena hanya terdiam dan menghabiskan jus persiknya. Kesegaran dan rasa manis jus ini langsung mengembalikan energinya yang terkuras. Meski sudah tidak masuk musim berbuah, koki-koki di istana tetap bisa membuat jus persik karena mereka mengawetkan buah itu dengan sihir es.

"Kau terlihat sangat lelah," kata Dan. Laki-laki itu melihat Celena dari atas ke bawah. "Ada kantung mata di wajah dan kau juga terlihat mengurus. Apa kau makan dengan benar?"

"Hm." Gadis itu mengangguk.

"Latihan memang diperlukan, tapi kau juga harus memperhatikan tubuhmu. Percuma saja kemampuanmu terasah, tapi kau jatuh sakit dan hanya terbaring di kasur. Sama saja kau tidak bisa menggunakan kemampuanmu, kan?"

"Mungkin aku memang berlebihan melakukannya. Terima kasih sudah mengingatkanku, Dan."

Laki-laki itu tersenyum kemudian memeluk tubuhnya sendiri. "Dinginnya," kata Dan. Ia lalu menoleh ke arah Celena. "Kau tidak kedinginan?"

Gadis itu menggeleng. "Tidak," jawabnya," mungkin karena aku juga baru saja latihan dan cukup berkeringat."

Mereka lalu terdiam dan hanya memandangi langit malam.

"Sudah berapa lama kau tinggal di sini?" tanya Dan.

"Hm ... sepertinya hampir setengah tahun."

"Waktu berjalan sangat cepat ya," ucap Dan. Ia lalu menoleh ke arah Celena. "Apa kau senang tinggal di sini?"

"Iya," jawab Celena seraya menganggukkan kepala. Sebuah senyum terukir di wajahnya.

"Syukurlah kalau begitu. Aku sempat merasa bersalah telah membawamu kemari."

"Kenapa?"

"Karena kau tidak merasakan keindahan Walta dan malah ikut terseret ke semua masalah yang terjadi di Walta, mulai dari perundingan aliansi sampai perang ini. Aku takut telah mengambil kehidupanmu yang damai dan membuatmu dalam bahaya," jawab Dan. Laki-laki itu lalu menghadapkan tubuhnya pada Celena.

Jilid I. Celena and The Born of New Sword [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang