Celena menatap lurus lautan manusia yang berjalan ke arahnya. Mereka memakai baju zirah lengkap berwarna abu-abu gelap. Pedang lurus panjang yang seragam terlihat menggantung di pinggang mereka. Meskipun demikian tak semuanya membawa pedang, ada juga yang membawa tombak di tangan kanan mereka.
Carolus mengendarai kuda berwarna hitam di depan mereka. Alexander yang menunggangi kuda cokelat berada tepat di samping kanan Carolus. Sebuah umbul-umbul berwarna hijau dengan simbol pedang bersulur daun yang merupakan simbol Keluarga Greece terlihat di bagian samping kudanya.
Seorang pria berumur tiga puluh tahun yang merupakan ajudan Carolus terlihat mengisi sisi kiri pria paruh baya itu. Umbul-umbul berwarna hijau dengan simbol Kerajaan Walta terlihat di bagian samping kudanya.
Tak hanya Carolus, ketujuh pemimpin wilayah lain yang saat ini berada di belakang Carolus juga membawa umbul-umbul yang melambangkan keluarga mereka.
"Kau terlihat tegang sekali."
Suara milik Darius yang terdengar jelas di telinga Celena berkat sebuah alat sihir ciptaan Will berhasil membuat gadis itu agak terkejut dan kembali ke kesadarannya.
"Namamu Celena, kan?" tanyanya. "Jangan kaget begitu. Aku bisa mengetahui perasaaanmu karena ekspresimu barusan mengingatkanku pada Dan ketika dia pertama kali terjun ke medan perang. Aku masih ingat dengan jelas saat itu ekspresinya benar-benar kaku."
Celena hanya terdiam malu. Gadis itu tidak menyangka kalau ayah angkat Dan itu bisa mengetahui perasaannya saat ini. Ia benar-benar tidak boleh meremehkan orang yang sudah berpengalaman di medan perang seperti Darius.
"Jangan terlalu tegang. Justru kalau kau terlalu tegang kau akan melakukan banyak kesalahan," tambah Darius. "Jadi, santai saja. Kau tidak sendiri. Ada banyak orang yang membantumu."
Gadis berambut pirang yang memakai baju zirah berwarna perak itu mengangguk dan tersenyum. "Iya. Terima kasih, Tuan Darius."
"Jangan bertindak gegabah dan tunggu instruksi dari Will. Jangan mudah terpancing provokasi dari lawan," tambah Darius.
"Baik."
Carolus mengangkat tangannya sebelah. Puluhan ribu orang yang berjalan di belakang pria itu langsung berhenti bergerak dan memasang posisi siaga. Pria paruh baya itu lalu memerintahkan kudanya untuk maju beberapa langkah.
"Lama tidak bertemu denganmu, Will," sapa Carolus angkuh, "bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang Paman lihat, aku baik-baik saja," jawab Will dari benteng bagian atas. Terlihat Ahn, Alicia, dan Lily berdiri di sampingnya.
"Ah ... senang mendengarnya. Kemenanganku akan terasa lebih manis jika bisa mengalahkanmu dalam kondisi prima," sindir Carolus.
"Sikap Paman hari ini sangat berbeda dari biasanya," balas Will, "ini adalah pertama kalinya aku melihat Paman sangat percaya diri sampai-sampai Paman berani membawa bendera Walta di pasukan Paman."
Nada bicaranya yang datar dingin ditambah tatapan tajam dari bola mata berwarna hijau emerald menandakan kalau Will tersinggung dengan sikap Carolus yang membawa bendera Walta.
Ahn yang berada di samping Will memaklumi kalau laki-laki itu tersinggung karena biasanya butuh persetujuan dari seorang raja untuk membuat seseorang bisa menjunjung bendera kerajaan di medan perang dan Carolus dengan lancang melakukan hal itu tanpa persetujuannya. Ditambah lagi dia melakukannya di perang ini yang seakan-akan membuat Will adalah musuh Walta yang harus disingkirkan.
"Tentu saja. Siapa pun akan merasa sangat percaya diri jika memiliki pasukan yang lebih banyak daripada milik lawan," jawab Carolus mengabaikan sindiran Will. Ia mengarahkan tatapannya pada pasukan milik Will. "Aku juga tidak melihat Dan, Cho, atau Mira di barisan pasukanmu membuat kemenanganku semakin terasa jelas."
"Jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang bahkan belum dimulai, Paman," kata Will. Ekspresi wajahnya mengeras. "Meskipun Dan, Cho, dan Mira tidak bisa ikut bergabung dengan kita, Paman seharusnya tidak asing dengan wajah-wajah pengganti mereka, kan?"
Carolus mengalihkan tatapannya pada Darius, Andrean, dan Zian secara bergantian.
"Lama tidak bertemu, Carolus," sapa Darius sedikit berteriak. Ia lalu menatap tajam ke arah Carolus. "Kulihat kau cukup berubah drastis. Ah ... apa mungkin selama ini sikapmu yang lembut dan hangat ke semua orang itu palsu?
"Kau sengaja bersikap seperti itu untuk menarik simpati orang. Apa benar begitu?"
Carolus menggigit bibir bawahnya. Kejengkelan terlihat jelas di wajah pria paruh baya itu.
"Meskipun kau mendapat bantuan dari para veteran, tetap saja itu tidak mengubah keadaan," ucap Carolus sambil tetap menatap lurus Will dan mengabaikan Darius. "Aku mengerti kalau kau berniat melawan pasukanku dengan kualitas, tapi tetap saja seseorang akan mati jika mendapatkan serangan yang bertubi-tubi.
"Kau berhasil membuatku merasa sedikit iba padamu, Will. Kau terlihat sangat berusaha keras mempertahankan posisimu. Kau terlihat sangat menyedihkan."
Will hanya terdiam. Meskipun ketenangan tergambar di wajahnya, laki-laki itu sedang menahan amarahnya yang sudah meluap sedari tadi.
"Bagaimana kalau kau menyerah saja?" tanya Carolus. "Ini kesempatan terakhir yang kuberikan padamu. Jika kau menyerahkan takhtamu tanpa melakukan perlawanan, aku akan mengampunimu dan memberikanmu kehidupan yang damai."
"Tidak," jawab Will tegas, "lebih baik aku mati di medan perang karena melindungi rakyatku daripada menerima jaminan hidup damai dari seseorang yang akan membawa petaka di kerajaan ini hanya demi ambisi sesaat seperti Paman."
Ucapan menohok dari Will berhasil membuat Carolus kesal. Pria paruh baya itu bahkan menggigit bibir bawahnya untuk menahan kata-kata umpatan keluar dari mulutnya. "Oh, baiklah," ucap Carolus kesal, "kau tidak bisa menarik ucapanmu barusan."
"Tentu," jawab Will yakin.
Carolus tertawa kesal. "Mari kita lihat saja nanti," balasnya. Ia lalu tersenyum sinis ke arah Will. "Aku harap kau tidak menyesali keputusanmu karena bisa jadi kau kehilangan kepalamu bukan karena pedangku melainkan dari pedang salah satu orang yang ingin kau lindungi itu."
Will mengernyit. Ia merasa ada sesuatu hal yang tersembunyi di balik ucapan Carolus dan itu membuat perasaan Will menjadi tidak enak. Firasatnya benar.
Seorang prajurit sudah tergeletak bersimbah darah di tanah. Luka lebar yang ada di dadanya ini tidak disebabkan tebasan dari pedang milik Carolus atau salah satu prajuritnya, melainkan dari pedang milik gadis berambut pirang yang memimpin pasukan tengah Will.
***
Hi, Liana here!
Sorry for the almost midnight update karena baru bener-bener ngerjain hari ini dan hari ini lumayan banyak kegiatan.
What do you think about this chapter? *smirk*
See you next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jilid I. Celena and The Born of New Sword [END]
Fantasia#Wattys2020 Winner - Fantasy Kehilangan bukan sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk menyerah. Menyerah untuk tertawa, menyerah untuk bertarung, atau menyerah untuk hidup. Meski kehilangan identitas dan jati dirinya, gadis itu tak menyerah. Denga...