"Sialan!" kata Carolus marah. Ia lalu menatap tajam Will. "Puas kau melihatku begini, huh?"
Will menatap lurus Carolus. "Kenapa Paman terlihat marah sekali? Bukankah seharusnya aku yang marah karena Paman telah berkhianat padaku, Raja Walta?"
"Jelas saja aku sangat marah!" balas Carolus cepat. "Apa kau tidak tahu sudah berapa lama aku menantikan waktu aku bisa duduk di kursi itu? Hampir seumur hidupku!"
Will tidak merespons ungkapan kekesalan Carolus itu.
Carolus menatap tangan kanannya yang penuh luka dan darah. "Aku menghabiskan masa mudaku di medan perang. Entah sudah berapa banyak orang yang kubunuh untuk Walta, yang kuingat hanyalah tanganku terus ternodai dengan darah," katanya.
Pria paruh baya itu lalu mengepalkan tangannya lagi. "Meskipun begitu, aku tidak pernah merasa menyesal telah melakukannya. Aku tidak peduli sebanyak apa pun luka, darah, dan air mata yang sudah mengotori tanganku, selama itu untuk Walta, aku akan tetap mengangkat pedangku," lanjut Carolus.
Ia lalu menatap Will benci. "Namun, semua kerja kerasku, semua cinta kasihku pada Walta tidak berbalas. Ayah lebih memilih Edward yang bahkan tidak pernah pergi berperang sekali pun. Hanya karena dia memiliki Mana lebih banyak dariku.
"Aku memang tidak bisa menciptakan api dengan sihirku. Aku bahkan harus mengerahkan hampir seluruh Mana yang kumiliki untuk menciptakan sebuah perisai, tapi aku selalu mempertaruhkan nyawaku untuk Walta.
"Apakah adil memberikan takhta pada orang yang bahkan tidak pernah merasakan penderitaan dan keputusasaan di medan perang? Apakah adil memilih penerus hanya karena dia sedikit lebih pintar dan lebih banyak memiliki Mana? Aku tidak dapat menerima hal seperti itu!"
"Begitu rupanya, ya?" kata Will pahit. Ia lalu menatap Carolus tajam. "Jadi itu alasan Paman mempercepat kematian Ayah dan menculikku enam tahun lalu. Paman ingin menjadi calon tunggal raja selanjutnya. Benar begitu?"
Ahn, Alicia, dan Lily kembali terkejut.
"A-Apa maksud Kakak?" tanya Alicia.
"Iya, benar," jawab Carolus tegas tanpa merasa bersalah.
Ahn, Alicia, dan Lily langsung mengalihkan tatapannya pada Carolus.
"Ayahmu tak pantas menjadi raja. Dia terlalu lemah. Jadi, aku membunuhnya," lanjut Carolus. Ia melempar senyum mengejek ke Will. "Sebentar lagi kau juga akan mengalami nasib yang sama."
"Berani-beraninya Paman melakukan itu pada Ayah. Ayah selalu mengkhawatirkan dan memedulikanmu, Paman," kata Alicia marah.
"Aku tidak membutuhkan itu," balas Carolus cepat, "yang aku butuhkan adalah hakku untuk duduk di kursi takhta."
Alicia kehilangan kata-kata.
"Aku sudah menduga kalau Paman memang berniat melakukan kudeta bahkan ketika Ayah masih berkuasa," kata Will tenang. Meskipun ia mencoba bersikap tenang, tetap saja Will tidak bisa menyembunyikan kemarahannya atas jawaban Carolus barusan. "Namun, tidak hanya Paman saja yang merencanakan hari ini terjadi. Aku juga."
"Apa maksudmu?" tanya Carolus.
"Seperti yang sudah aku katakan, aku bukanlah orang yang berambisi menjadi raja. Bagiku, menjadi raja adalah sesuatu yang merepotkan dan aku benci hal-hal seperti itu. Aku bahkan merasa sangat senang jika beban berat itu dipikul orang lain. Paman, misalnya," jawab Will. Ia lalu menatap tajam Carolus. "Namun, Paman malah melakukan sesuatu hal yang tidak perlu."
Carolus mengernyitkan dahi.
"Setelah berhasil kembali selamat, aku langsung mencari tahu orang yang berniat membunuhku. Kau tidak tahu betapa terkejutnya aku saat mengetahui Paman adalah dalang dibalik kasus penculikanku. Aku semakin terkejut setelah mengetahui fakta kalau Paman juga tega meracuni Ayah, adik kandung Paman sendiri," lanjut Will.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jilid I. Celena and The Born of New Sword [END]
Fantasy#Wattys2020 Winner - Fantasy Kehilangan bukan sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk menyerah. Menyerah untuk tertawa, menyerah untuk bertarung, atau menyerah untuk hidup. Meski kehilangan identitas dan jati dirinya, gadis itu tak menyerah. Denga...