Chapter 11

170 21 0
                                    


HUJAN deras kali ini rupanya datang lebih cepat dari bulan November. Berdiri di depan beranda sebuah rumah, Remiel menjulurkan tangannya untuk merasakan hujan terakhir di bulan Oktober ini. Besok, dirinya sudah akan bertemu dengan bulan hujan.

Dia melirik ke belakangnya, mendapati pintu rumah berwarna cokelat yang baru saja seolah menawarkan kehangatan di dalamnya, namun dia tidak cukup beruntung untuk diizinkan masuk oleh sang Pemilik.

Remiel mencari-cari mobil sewaan Ender yang sebelumnya terparkir beberapa meter dari rumah itu untuk memastikan mobil itu masih di sana. Ketika mendapati mobil itu, dia berpikir sejenak, betapa tidak berperasaannya hati Ender untuk tidak menjemputnya dengan payung.

Lalu, dirinya menaikan kerah jaket untuk melindungi kepalanya, bersiap menembus hujan. Hanya butuh beberapa detik yang singkat sampai Remiel membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Ender sedang duduk bersila di dalam mobil hangatnya, dengan bungkusan snack di tangannya yang harum bumbunya menguar.

"Gimana?" tanyanya santai sambil terus mengunyah.

"Saya tadi mau jemput, tapi Ender bilang gak usah," ucap Pupu menoleh ke belakang, tempat kedua remaja lelaki itu duduk.

"Emang gak punya hati dia mah," cibir Remiel sambil membuka jaketnya yang basah kuyup meski hanya kehujanan beberapa detik saja. Celana abunya sudah basah sampai selutut.

"Manja banget sih, deket ini." Ender menyodorkan snack yang sedang dimakannya, Remiel mengambil segenggam penuh. "Jadi gimana?"

Meskipun sempat bertengkar di sekolah, layaknya anak lelaki pada umumnya, mereka terbiasa melupakan itu saat sekolah usai.

Remiel mengunyah sambil menggeleng. "Yang keluar ibu-ibu," katanya. "Mungkin kita harus liatin sampai pagi biar tau dia masih tinggal di sana atau enggak." Sejujurnya dia benar-benar tidak akan melakukan hal itu meski dipaksa sekalipun.

"Gue ada peer buat besok, gimana dong." Ender berucap seolah sama sekali tidak bertanya apalagi khawatir. Intinya, dia harus pulang bagaimana pun juga, ibunya cukup rewel dengan apa-apa saja kegiatan Ender terlebih karena meninggalkan jam belajar rumahnya.

Remiel melirik jam tangannya, baru jam tujuh malam kurang. Sepulang sekolah tadi, mereka berlima bertemu seorang detektif yang memberi mereka semacam wejangan, kemudian memutuskan untuk mendatangi alamat yang tertulis di dokumen yang diberikan Davis waktu itu.

"Tunggu bentar aja sampai ujan reda, nanti lo boleh balik," kata Remiel, sambil memeluk kedua tangannya sendiri, mengusap-usapnya agar terasa lebih hangat setelah keripik kentang di tangannya habis.

"Lo mau di sini?"

Lelaki itu berhenti sejenak, sebenarnya besok dia ada jurnal bahasa yang harus dikumpulkan, ada PR merangkum juga, dan ada lima soal matematika yang belum dia kerjakan.

Dalam otaknya dia menghitung waktu yang diperlukan untuk mengerjakan semuanya dan hasilnya adalah bahwa dia memiliki cukup waktu untuk tidur: lima atau empat jam.

"Gue di sini dulu aja," katanya. "Bisa balik sendiri."

"Ini luar kota loh, Rem."

Remiel melirik Ender, matanya menyipit. "Cuma sejam pake bis dari tempat tinggal kita kali."

"Terserah lo dah."

"Tinggalin uang aja tar semuanya beres," ujar Remiel sambil membuka tangannya di depan wajah Ender.

"Gue sumpahin jadi orang susah beneran!"

Buru-buru Remiel menarik lagi tangannya dan kembali memeluk dirinya sendiri lagi. Sedetik kemudian dia teringat ayah tirinya: kurus, tinggi, mata sipit yang hampir sama tajamnya dengan milik Davis, kaku dan ... hambar. Usianya hampir lima puluh tiga tahun (dirinya sendiri bingung kenapa dulu ibunya bisa jatuh cinta dengan pria ini).

Fill in The BlankTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang