"Nata!"
Pemuda yang disapa Nata itu menoleh ke arah sumber suara di belakangnya. Pagi ini dia bertugas untuk jaga di ruang operasi. Nasib memang, padahal kemarin-kemarin dirinya sudah cukup tampan karena berjaga di poli.
Dengan amat sangat tidak bersemangat, Nata tersenyum ala kadarnya pada sosok pemuda berkacamata yang kini berdiri di depannya. Tampilannya lumayan rapi ketimbang yang ia lihat beberapa waktu yang lalu. Namanya Faris, rekan sesama residennya. Kebetulan hari ini Faris ada jadwal jaga di poli dan Nata berani mengatakan bahwa alasan dari baiknya penampilan rekannya itu, ya karena alasan tadi. Poli adalah penentu kehidupan.
"Kenapa?" tanya Nata dengan wajahnya yang kelihatan tidak bersemangat. Berbeda dengan Faris yang kini tersenyum lebar seakan mengejek nasib buruk yang menimpanya.
"Lo yang kenapa?! Itu muka apa kertas? lecek amat."
"Enggak usah sombong mentang-mentang jaga poli," ucap Nata kesal.
"Enggak usah kayak adik-adik koass, dong! Udah jadi residen ini kita, masa kelakuan masih kayak bocah?"
Nata hanya memandang Faris dengan tatapan yang menjengkelkan. Kesal saja melihat temannya ini jadi sok menggurui. Padahal siapa yang dulu nangis-nangis kepadanya karena kena sembur dokter spesialis di hari pertama jaga ruang operasi? Ya, Faris namanya.
"Bedanya kita sama koass apa, sih? Sama-sama bayar, bukan dibayar," kata Nata sedikit kesal. Benar-benar, ya belum juga masuk ruang operasi, moodnya sudah hancur begini. Gimana nanti jika ada pasien yang harus tiba-tiba operasi? Bisa-bisa Nata kebawa kesal sendiri.
"Jangan gitu, dong. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, Nat. Kayak usaha gue dapetin hati dia, contohnya." Faris menaik turunkan alisnya menggoda Nata. Padahal percuma saja, yang ada Nata malah tambah emosi. Ditambah wajah Faris yang rasanya ingin ia lempar dengan timbangan berat badan.
"Enggak usah sok jadi pujangga lo! Selesain dulu itu gelar dokter, baru ngebacot tentang dia."
"Nata kalau marah serem, ih!" Faris mengedikkan bahunya seperti orang yang merinding. Nata sendiri bingung kenapa juga ia masih ada di sini meladeni setiap kata demi kata yang Faris ucapkan. Meskipun kenyataannya Faris ini sahabatnya dari jaman kuliah, tapi Nata tidak menutup fakta kalau temannya ini agak sedikit gila meski bukan secara harfiah. Tapi, ya begitu.
"Udah gue mau ke ruangan," kata Nata dan berlalu begitu saja meninggalkan Faris yang kini tersenyum penuh kemenangan.
"SELAMAT BERTUGAS DOKTER NATA SAYANGNYA AKU!" teriak Faris sambil melambai-lambaikan tangannya di udara.
"Dokter, jangan berisik. Nenek saya lagi sakit gigi," tegur seorang anak kecil yang kini menarik-narik celana bahannya di bawah sana. Faris mau marah sebenarnya, soalnya celana bahan yang ia kenakan sekarang itu lumayan kebesaran. Tapi, kalau yang menariknya ini anak gadis kecil yang kira-kira umurnya masih lima tahun, dia bisa apa?
"Aduh, maaf ya. Dokter lupa kalau di sini tempatnya orang sakit," katanya dengan suara yang dibuat imut kepada anak gadis itu. Ia ikut mensejajarkan dirinya dengan sang gadis dan mengusak rambutnya lembut.
"FARIS, ITU POLINYA DIJAGAIN! GIMANA, SIH? KATANYA MAU PUNYA PACAR, TAPI JAGA POLI AJA ENGGAK BECUS!"
Duhai, dokter spesialis. Awas aja, nanti Faris balas kalau masa residen sudah selesai.
...
Ini hanya sebuah selingan supaya kamu tau kalau dokter Faris itu santay kaya di pantay.
Maaf juga kemarin tida update karena ternyata kemarin adalah hari paling melelahkan sedunia:) mari berjuang untukmu, untukku, untuk kita. Semangat!
KAMU SEDANG MEMBACA
We Bar Bar
Teen FictionIni cerita dokter Nata dan dua kawanannya, ditambah dokter Faris yang entah datang dari mana. ©mochikuchim 2020