"Sa, udah belajar buat uji lab?"
Elsa yang tengah sibuk mencatat beberapa materi di bindernya itu pun menoleh ke arah Laras--teman sebarisnya yang menyinggung masalah uji lab satu minggu lagi. Elsa sendiri termasuk tipikal santai di awal dan akan rusuh di akhir. Buktinya, sampai detik ini ia belum terlalu mempelajari tindakan-tindakan yang akan ia lakukan untuk ujian nanti. Hanya sebatas melihat video atau sekedar membaca-baca teori dari modul yang diberikan oleh dosennya di beberapa pertemuan kelas mereka.
"Belum, Ras. Kamu udah? Aku bingung mau belajar di mana," jawabnya sambil menggigit ujung pulpen seharga dua ribuan itu.
"Aku juga belum, sih. Kalau belajar sekarang takut lupa, kalau belajar mepet-mepet nanti pasti lab disterilin buat ujian." Elsa mengangguk membenarkan. Beberapa hari menuju ujian pastinya laboratorium tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Katanya, sih disterilisasi demi kepentingan ujian.
"Kenapa juga aku masuk kebidanan ya, Sa? Udah mahal, prakteknya juga ribet. Mau nangis aja," keluh Laras tiba-tiba. Elsa sendiri hanya membalas dengan senyum kalem. Jujur saja, kuliahnya ini bukan atas dasar kemauannya. Lebih tepatnya, ini semua kemauan sang ibu. Tahu, kan gimana repotnya ibu-ibu kalau sudah urusan pendidikan sang anak? Apalagi Elsa ini anak pertama.
"Kepalang nyebur, Ras. Nikmatin aja," jawab Elsa kalem. Padahal dalam hati kalau bisa ia ingin misuh-misuh juga. Siapa, sih yang mau kalau harus dibuat susah? Tapi, namanya juga belajar. Akan lebih sulit lagi kalau semisal Elsa tidak belajar.
Drrrttt... Drrrtttt...
Elsa memusatkan perhatiannya pada ponselnya yang ada di samping binder. Melihat nama dokter Nata dengan segala embel-embel emotikon hati berwarna ungu terpampang jelas di sana. Diam-diam Laras juga ikut melihat, lalu dengan sengaja menepuk bahu Elsa. Niatnya, sih ingin menggoda.
"Ditelepon sama dokter kesayangan, tuh!" katanya. Elsa membalas dengan kibasan tangannya di depan wajah. Gadis itu segera mengangkat telepon dari dokter Nata. Sebenarnya bingung juga kenapa tiba-tiba dokter Nata telepon. Padahal jarang-jarang dokter itu memainkan ponselnya.
"Halo?"
"Kamu di mana? Udah makan? Saya jemput, ya." Belum juga apa-apa, dokter Nata sudah menodongnya dengan berbagai macam pertanyaan dan berakhir dengan sebuah pemaksaan. Iya, dokter itu memaksa untuk menjemput Elsa padahal gadis itu baru menyebutkan halo dari ujung sini.
"Enggak usah, dok. Aku bisa pulang sendiri, kok. Lagian dokter lagi sibuk jaga ruang OK, kan?" tanya Elsa sambil memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Berharap juga jika dokter Nata menjemputnya, hitung-hitung menebus kesalahan karena telah membuatnya menunggu selama satu jam di kantin rumah sakit. Iya, Elsa masih kesal.
"Udah kamu tunggu aja di pos satpam. Saya lagi jalan ke parkiran, sekalian nanti kita omongin masalah ujian lab kamu."
"Eh, tap--"
Tuttt... Tuttt...
Elsa melepas ponselnya dari telinga dan melihat bahwa sambungan teleponnya diakhiri secara sepihak oleh dokter Nata. Kesal sebenarnya, tapi senangbjuga akhirnya ia tak harus lelah pulang sendirian berhubung hari ini juga sudah sore. Untuk kali ini, Elsa maafkan dokter Nata dulu, deh.
...
Keduanya kini sama-sama diam di dalam mobil. Tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk membuka percakapan. Dokter Nata sibuk menyetir, bahkan dirinya sama sekali tidak melirik ke arah Elsa. Elsa itu salah di mananya, sih? Tadi, dokter Nata sendiri yang memaksa untuk menjemputnya. Sekarang, kenapa jadi dia yang seperti punya salah besar kepada residen muda itu?
"Dok, enggak lucu ya kalau tiba-tiba aku kesel sama dokter." Elsa memberanikan diri untuk membuka percakapan antara dirinya dan dokter Nata. Melihat gelagat dokter Nata yang hanya menatapnya sebentar tanpa ada niatan untuk menjawab, Elsa makin-makin kesal saja rasanya.
"Kalau enggak niat jemput aku, enggak usah jemput harusnya. Aku turun di sini aja," kata Elsa kesal sendiri. Dokter Nata tiba-tiba memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, membuat Elsa terkejut. Tapi, sebisa mungkin gadis itu mengontrol emosinya. Walaupun sebenarnya takut setengah mati akan berakhir keluar dari mobil dokter Nata.
"Saya lagi nyetir, El. Jangan ngomong yang aneh-aneh dulu." Dokter Nata mengatakan itu dengan suaranya yang lembut. Elsa sendiri sudah kalang kabut di tempatnya. Biasanya akan ada Keyla yang tiba-tiba mengatakan hal-hal seperti, dokter Nata apaan, sih? atau yang lainnya untuk mencairkan suasana. Tapi, kali ini hanya ada mereka berdua di sana yang semakin memperburuk keadaan. Elsa itu tidak sanggup menerima segala bentuk perhatian berlebih dari seorang laki-laki. Apalagi kalau laki-lakinya ini macam dokter Nata. Ingat, loh! Dokter. Profesi yang hampir didamba oleh semua kalangan.
"Iya. Maaf," cicit Elsa. Gadis itu menunduk dan tak sempat melihat dokter Nata yang tersenyum ke arahnya. Ya, kalau pun Elsa lihat mungkin akan berdampak tidak baik juga.
"Ya udah, karena udah terlanjur berhenti, kita omongin masalah ujian kamu aja. Gimana?" usul dokter Nata. Elsa mengangguk tak berselera. Sejujurnya, ia tak ingin membahas ujiannya hari ini. Otaknya sudah cukup ngebul dan tubuhnya butuh istirahat setelah mendengar dosennya berbicara tanpa henti menjelaskan tentang payung hukum profesi kebidanan yang rasa-rasanya tidak ada habisnya itu. Tapi, kalau dokter Nata yang meminta, dia bisa apa?
"Kamu kebagian apa buat ujian nanti?" tanya dokter Nata sambil memainkan anak rambut yang menganggu dan menyelipkannya ke belakang telinga Elsa.
"Belum tau, soalnya nanti dikocok waktu hari h-nya."
"Belajar sama saya mau?" tanya dokter Nata lagi. Elsa sendiri kaget begitu dokter Nata menawarkan hal langka macam itu. Pandangan matanya tertuju pada dokter Nata yang kini memandangnya dengan senyum di balik kemudi. Duh, Elsa tidak pernah menyadari kalau ternyata dokter Nata itu setampan ini.
"Emang boleh?" tanya Elsa balik. Dokter Nata hanya tersenyum sambil mengelus kepala Elsa, merapikan rambut Elsa yang tipis dan sedikit berantakan itu. "Ya, boleh. Emang kata siapa enggak boleh?" tanyanya balik.
"Kan, sibuk. Aku enggak ganggu emang?"
"Enggak, tuh. Besok sore datang aja ke rumah sakit, tunggu di poli nanti saya nyusul. Gimana?" usul dokter Nata. Elsa mengangguk menyanggupi. Masa bodoh dengan kemungkinan buruk yang akan kembali terjadi, di mana ia akan menunggu dokter Nata. Pikirannya sedang dalam kondisi terdistraksi oleh segala sesuatu yang dilakukan oleh dokter Nata padanya kini. Ia bahkan tak peduli jika saja rencana ini akan berakhir menjadi sebuah wacana abadi karena bisa saja besok dokter Nata akan melakukan operasi dadakan. Atau malah dokter Nata akan kembali pergi ke rumah Keyla karena gadis itu yang tiba-tiba meminta. Elsa mana peduli tentang itu untuk sekarang. Kenyataan bahwa dirinya tidak boleh jatuh terlalu dalam saja ia lupakan, khusus untuk hari ini.
...
UWOW!
kuliah onlen membuat diriku hampir busuk di rumah, padahal baru lima hari:)
jaga kesehatan ya, kalian. kata dokter nata, cuci tangan yang rajin. jangan kemakan hoax-hoax yang banyak beredar. semangat!
double update gak ya?

KAMU SEDANG MEMBACA
We Bar Bar
Teen FictionIni cerita dokter Nata dan dua kawanannya, ditambah dokter Faris yang entah datang dari mana. ©mochikuchim 2020