Obrolan Tengah Malam

17 2 0
                                    

Natasha sama sekali tak menyangka jika dirinya punya nyali untuk datang ke rumah sakit di tengah malam begini. Siapa lagi kalau bukan karena Nata? Sebenarnya, bukan masalah Nata yang memintanya untuk datang. Ini murni karena keinginannya sendiri.

Selama berhari-hari dirinya dibuat berpikir. Mungkin ini karena dirinya yang terlalu overthinking, padahal tak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, ia tak berpikiran begitu. Kepalanya terus menerus menuliskan tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya Nata pikirkan. Tentang bagaimana perasaan yang Nata punya selama ini untuknya. Apa itu hanya main-main? Apa dirinya tidak begitu berarti setelah lima tahun lamanya hubungan mereka terjalin?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul dan terus menghantui Natasha hingga saat ini. Karena itu juga dirinya ada di sini. Menunggu Nata di ruangannya dengan pikiran yang lumayan kalut.

Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kan? Ini hanya reaksi yang terlalu berlebihan karena keduanya telah menjalin hubungan selama lima tahun lamanya. Iya, kan?

"Ca? Hei, kamu ngapain? Ini udah larut banget--"

"Nat, kita perlu bicara." Suara Natasha terdengar berbeda ketika menyapa telinga Nata. Biasanya gadis itu akan berkata dengan lembut, namun kali ini suaranya terdengar lebih dingin dan ada sedikit rasa takut dan juga marah di dalamnya.

"Kamu mau ngomong apa? Hm?" tanya Nata. Dirinya mendudukan diri di sebelah Natasha yang kini menghadap ke arahnya. Serius, ia tak pernah melihat Natasha begini. Tatapan gadis itu berbeda dari biasanya. Ada rasa penasaran, takut, dan juga sedikit marah di dalamnya.

"Kamu sayang samu aku sebesar apa?" tanya Natasha tiba-tiba. Nata yang diberi pertanyaan semacam itu secara tiba-tiba langsung mengerutkan keningnya. Merasa bahwa pertanyaan Natasha ini bukan lagi sesuatu yang harus mereka bahas.

"Kenapa tanya begitu?" tanya Nata balik.

"Aku ragu, Nat." Natasha menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. "Aku ragu sama kamu. Hubungan kita udah lima tahun dan kamu sama sekali enggak berniat untuk serius sama aku barang sedikit pun. Apa aku salah kalau aku ragu? Aku udah kasih semua yang aku punya buat kamu, tapi kenapa rasanya kamu seakan setengah-setengah kasih semua yang kamu punya ke aku? Jujur sama aku, kamu ragu, kan?" tanya Natasha pada Nata yang kini hanya bisa menatap gadis itu dalam diam. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa ketika Natasha mengatakan hal itu. Ketika perempuan itulah yang pertama kali mengatakan bahwa dirinya ragu. Ia ragu pada Nata setelah lima tahun hubungan mereka. Itu artinya Nata gagal, kan?

"Lebih baik kamu ngomong sekarang daripada aku harus tau dari orang lain, Nat. I'm ok, we can still be friend. Kamu enggak usah canggung," lanjutnya lagi.

"Apanya kita masih bisa jadi teman? Kamu mau kita--"

"Breakup. Aku enggak apa-apa kalau kita harus berakhir sampai di sini kalau misalnya kamu ragu sama aku. Aku enggak mau buang-buang waktu berharga yang kamu punya hanya untuk terus berputar di aku. Aku sadar atau mungkin lebih tepatnya, aku tau kalau aku bukan poros yang tepat buat kamu. Dan kamu secara enggak langsung juga mengatakan hal itu. Kalau aku bukan poros yang tepat. Kita emang satu frekuensi, Nat. You're me, and I'm you. But do you know something? Kalau mereka yang satu frekuensi akan terus menerus saling menolak satu sama lain, layaknya kutub yang ada di magnet."

Nata bungkam. Dirinya sama sekali tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dirinya terasa seperti ditangkap basah oleh kekasihnya sendiri. Apa ia memang terlalu munafik untuk sekedar mengakui bahwa Natasha bukanlah poros yang tepat untuknya? Apa iya? Apa iya dirinya seburuk itu untuk menyadari sesuatu?

"Aku enggak masalah, Nat. Itu pilihanmu, aku sama sekali enggak bisa maksa. Tapi, ada satu bagian di hatiku yang menolak. Yang terus-terusan berkata kalau itu cuma reaksiku yang berlebihan karena aku harus punya hubungan sama kamu yang terlalu sibuk sama pekerjaan. Jadi, Nat, kamu bisa yakinin bagian dari hatiku yang menolak itu kalau semua yang kupikirkan, semua yang kuragukan tentang kamu itu benar?"

Mata Natasha seakan memohon pada Nata yang kini masih betah dalam diamnya. Dirinya merasa begitu jahat karena secara tak langsung membuat gadis di depannya menyerah begitu saja. Bukankah dirinya kejam? Bukankah dirinya sama sekali tak memiliki hati untuk sekedar mengatakan bahwa bagian dari hati kecilnya itu benar? Ini hanya reaksinya yang berlebihan, tak ada yang perlu diragukan karena Nata mencintainya selama lima tahun ini. Tapi, kenapa? Kenapa rasanya begitu sulit untuk dikatakan?

Dilihatnya Natasha yang tersenyum, senyum yang berbeda dari biasanya. Gadis itu meraih wajah Nata, membawanya mendekat hingga dahi keduanya bersentuhan. Matanya memejam, otot-otot di wajahnya seakan tertarik akibat menahan tangisan yang benar-benar tak ingin ia keluarkan sekarang.

"Nat, we've been through a lot... Selama lima tahun ini kita banyak melakukan hal-hal yang menyenangkan. Tapi, sekarang yang tersisa hanya perasaan ragumu dan raguku. Enggak ada yang lain." Natasha menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya.

"But, it was awesome. All the memories was awesome. Thanks for coming to my life, Nat. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, ya?" Gadis itu tersenyum menatap Nata. Nata meraih tangan Natasha yang masih bertengger manis di pipinya, mengelusnya pelan seakan hanya itulah yang bisa ia beri sekarang.

"Aku selalu takut kalau kamu diam, Nat. Dan sekarang kamu diam seakan semua yang kukatakan itu benar. Tapi, itu benar, kan?"

"Aku enggak akan bilang ke Ibu atau Mama kalau kamu yang mutusin ini, aku masih sadar diri kalau ternyata aku enggak cukup pantas untuk kamu saat ini. Lamanya hubungan bukan jadi satu tolak ukur kalau mereka akan berakhir bersama, kan? It's ok, Nat. Aku ngerti," katanya lagi.

Natasha melepas tangannya dari pegangan Nata. Mengamati wajah itu sekali lagi sebelum akhirnya berdiri, berniat untuk pergi.

"Aku pulang dulu. Jangan lupa nanti pagi sarapan sebelum follow up pasien, ya? Aku duluan."

Dan Nata lebih tahu dari siapapun, bahwa Natasha diam-diam menangis di jalannya menuju ke dalam mobil.

...

KURANG NGEBUT APA GUA

We Bar BarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang