"SIAPA, SIH ANDA? KESEL BANGET MALEM-MALEM DATENG!" teriak Elsa sambil mendorong-dorong pintu rumahnya agar tak ada celah bagi dokter Faris yang tak kalah ngotot mendorong pintu agar pintunya terbuka.
Malam ini, Elsa dikejutkan lagi dengan kedatangan dokter Faris. Bukannya ia tak ingin menerima tamu, tapi ini dokter Faris! Dia lupa atau bagaimana kalau Elsa bahkan belum memaafkannya, meskipun gadis itu amat sangat menikmati sogokannya--martabak telur spesial kemarin sore?
"Saya mau masuk, El! Kamu jangan teriak-teriak, berisik!" seru dokter Faris tak kalah heboh. Elsa menggeleng-gelengkan kepalanya heboh, masih menolak kedatangan dokter Faris.
"Pulang sana, dok! Rumah dokter bukan di sini!"
"Ayo, pacaran!" seru dokter Faris yang membuat pegangan Elsa pada pintunya terlepas. Dokter Faris langsung mendorong pintu agar terbuka dengan lebar, tersenyum penuh kemenangan begitu melihat ekspresi wajah Elsa yang kebingungan.
"Ayo," katanya lagi. Elsa masih bingung, dirinya belum mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan dokter Faris. Pacaran, ayo, maksudnya gimana?
"Apaan?!" tanya Elsa sedikit sewot sendiri.
"Ke minimarket. Saya traktir es krim," katanya sambil menarik tangan Elsa keluar. Elsa yang ditarik tiba-tiba tak ada kesempatan untuk menolak. Pikirannya masih tertuju pada perkataan dokter Faris sebelumnya tentang tawaran konyol yang harusnya gadis itu sadar bahwa semua itu hanya ucapan belaka, semata-mata agar pintunya dapat terbuka lebar.
"Aku belum bilang Ibu," ujar Elsa ketika dokter Faris menyodorkannya helm berwarna putih.
"Udah, udah dibilang."
"Lah? Kapan?"
Dokter Faris tak menjawab, ia malah langsung memakaikan helm putihnya ke kepala Elsa. Sebentar. Tadi, katanya ingin pergi ke minimarket. Kenapa harus pakai helm segala? Memangnya jauh?
"Dok, apaan sih?" tanya Elsa sambil melepas helm putih yang barusan dikenakan dokter Faris padanya.
"Mau ke minimarket kenapa pake helm? Emang mau pergi jauh apa?" tanyanya lagi.
Dokter Faris merebut helm putihnya dari tangan Elsa dan kembali memakaikannya di kepala gadis itu. Menepuk-nepuknya halus sambil berkata, "Aset masa depan enggak boleh rusak."
...
Keyla berdiri di depan rumah Elsa. Bingung juga harus memulai dari mana ketika nanti dirinya berhadapan langsung dengan gadis itu. Selama hampir lima belas menit, ia masih belum juga masuk ke dalam pekarangan rumah Elsa, masih terlalu sibuk memikirkan kata-kata yang pas untuk dikatakan. Sampai akhirnya suara klakson motor merebut seluruh atensinya. Konsentrasinya terhadap pilihan kata maaf buyar begitu motor yang datang dari arah jalan besar mendekat.
"Loh? Keyla?" seru si pengemudi yang Keyla yakini sebagai dokter Faris. Kepala yang lain muncul dari belakang, menampilkan Elsa yang terlihat begitu konyol dengan helm berwarna putih, juga permen lolipop yang bertengger manis si mulutnya.
Elsa turun dari motor, melepas helmnya, dan menyerahkannya pada dokter Faris. Ia sempat berbincang sebentar dengan dokter itu, memintanya untuk tetap diam di tempat karena ini urusan perempuan. Laki-laki sama sekali tak boleh ikut campur. Setelahnya, Elsa membawa Keyla untuk duduk di bangku teras rumahnya. Lebih tepatnya, Keyla yang duduk. Sedangkan Elsa masih betah untuk berdiri.
"El, aku mau minta maaf."
Sudah Elsa duga, Keyla ingin minta maaf. Elsa hanya mengangguk sebagai balasan. Ia juga ingin meminta maaf pada temannya ini, lagi pula dia yang lebih banyak salah. Menyalahkan Keyla atas segala yang menimpa mereka beberapa hari ini. Tapi, mulutnya seakan terkunci. Perasaannya jadi tak karuan. Elsa benci dirinya di saat-saat seperti ini, begitu juga Keyla. Keduanya benci jika harus melibatkan perasaan. Mereka bukannya tak pernah bertengkar dan saling meminta maaf. Tapi, biasanya pertengkaran mereka tak pernah sebegini hebat. Kata maaf tak pernah sesulit ini untuk sekedar diucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Bar Bar
Teen FictionIni cerita dokter Nata dan dua kawanannya, ditambah dokter Faris yang entah datang dari mana. ©mochikuchim 2020